Makalah AHWAL AL MUQARABAH, AL KHAUF, DAN AL RAJA’

Edit Posted by with No comments
AHWAL AL MUQARABAH, AL KHAUF, DAN AL RAJA’








JURUSAN JINAYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2017






KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat, Karunia serta Taufik dan Hidayahnya jualah, kami mampu menyelesaikan makalah tentang “Ahwal al muqarabah, al khauf, al raja’”  yang menjadi tugas Mata Kuliah Ahlak Tasawuf. Dan juga kami berterimakasih kepada ibu Zuraidah Selaku Dosen Pengampu yang telah memberikan tugas ini kepada kelompok kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Ahwal al muqarabah, al khauf, al raja’” , Serta cakupan-cakupan yang terkandung didalamnya.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap agar pembaca mampu memberikan kritik serta saran yang bersifat membangun, karena mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa kritik dan saran yang membangun
Semoga makalah ini dapat difahami bagi penulis dan pembacanya sendiri. Sebelumnya kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.





                                                                 Palembang, 20 November 2017


                                                                               Kelompok 6








BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Makalah ini akan membahas tentang ahwal, secara umum ahwal ini membahas tentang kondisi dan situasi hati seorang manusia. Ahwal ini bertempat di dalam kalbu dan tidak kekal sebagai anugerah Allah. Kendatipun kondisi atau sikap mental itu semata anugerah Allah, bukan karena latihan dan perjuangan, namun bagi setiap orang yang ingin meningkatkan intensitas jiwanya haruslah berusaha menjadikan dirinya orang yang berhak menerima anugerah Allah tersebut. Yaitu dengan meningkatkan amal perbuatannya, baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitasnya.
Ahwal merupakan komponen sagat penting perjalanan rohani dan membantu jiwa dalam perjalanannya, asalkan itu tidak menjadi terikat oleh sebuah hal dan senantiasa diingat bahwa tujuan dari jalan itu bukanlah untuk mengalami fenomena ini atau itu, meskipun bersifat spritual, melainkan Allah. Ahwal sangat bermanfaat bagi seseorang untuk ia mendekatkan diri kepada Allah, terutama bagi kaum sufi, yang mana sudah di katakan di atas bahwa ahwal ini merupakan  peningkatan maqamat seseorang. Ahwal ini merupakan salah satu hal terpenting yang harus di miliki setiap manusia untuk ia mendekatkan diri kepada Allah. Bagaimana penelaahan ahwal dan bagian-bagiannya yaitu al muqarabah, al khauf dan al raja’ , apa saja manfaatnya dan bagaimana pencapainyannya. Makalah ini akan membahasnya secara komprehensif.[1]
B. PERMASALAHAN
1.      Apa pengertian ahwal ?
2.      Apa saja macam-macam ahwal ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AHWAL
Istilah ahwal merupakan bentuk jamak dari hal. Secara etimologi, ahwal berarti sifat dan keadaan sesuatu. Secara terminologi, yang dimaksud dengan ahwal adalah keadaan atau kondisi psikologis yang dirasakan ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu.
Ahwal merupakan sebuah batasan teknis dalam disiplin tasawuf untuk suatu keadaan tertentu yang bersifat tidak permanen dan kebalikan dari maqamat, yaitu kedudukan kejiwaan yang lebih bersifat permanen. Hal masuk ke dalam hati sebagai anugerah dan karunia dan rahmat Allah swt yang tidak terbatas pada hamba-Nya. Hal tidak dapat dicapai melalui usaha, keinginan, atau undangan. Hal datang dan pergi tanpa di duga-duga. Keadaan spiritual banyak jumlahnya dan kedudukan spiritual juga banyak.
Dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Pemberian itu ada kalanya tanpa melalui usaha. Tidak semua orang yang berusaha itu berhasil, namun ia menjadi dambaan bagi setiap orang yang menjalani tasawuf. Hubungan antara usaha dan hasil dalam perkara ini tidak bersifat mutlak.[2]

B. MACAM-MACAM AHWAL
1. Muraqabah
Dari segi bahasa muraqabah berarti pengawasan dan pantauan. Karena sikap muraqabah ini mencerminkan adanya pengawasan dan pemantauan Allah terhadap dirinya. Adapun dari segi istilah, muraqabah adalah, suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya, melihatnya, mendengarnya, dan mengetahui segala apapun yang dilakukannya dalam setiap waktu, setiap saat, setiap nafas atau setiap kedipan mata sekalipun.
Makna dari muraqabah adalah meletakkan sesuatu dibawah perhatian, penantian, pengawasan, dan hidup dibawah perasaan sedang diawasi. Bagi para sufi, muraqabah adalah ber-tawajuh kepada Allah dengan sepenuh hati, melalui pemutusan hubungan dengan segala selain Allah Swt, menjalani hidup dengan mengekang hawa nafsu dari hal-hal terlarang, dan mengatur kehidupan dibawah cahaya perintah allah selalu meliputi segala sesuatu.
Dalam perspektif imam Ghazali, muraqabah merupakan buah dari makfirat yang menghasilkan dua level muraqabah. Pertama, muraqabahnya orang-orang shiddiqin, orang-orang terpercaya lagi jujur. Orang-orang shiddiqin bermuqarabbah dengan benar-benar menenggelamkan hati, perasaan, dan diri mereka sepenuhnya pada keagungan dan kewibawaan Allah.
Kedua muraqabbah orang-orang wara’, mereka bermuraqabbah dengan menyadari bahwa Allah selalu mengawasi kondisi lahiriyyahnya dan batiniah mereka. Orang-orang wara’ bermuraqabah dengan melakukan dua intropeksi: intropeksi sebelum melakukan tindakan dan pada waktu melakukan tindakan.
 a. Manfaat  Muraqabah                       
1.    Suatu hal yang sudah pasti dari adanya sifat seperti ini adalah optimalnya ibadah yang dilakukan seseorang serta jauhnya ia dari kemaksiatan. Karena ia menyadari bahwa Allah senantiasa melihat dan mengawasinya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan :
“Barang siapa yang merindukan pertemuan dengan Allah, maka Allah pun akan merindukan pertemuannya dengan diri-Nya. Dan barang siapa yang tidak menyukai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak menyukai pertemuan dengannya” (HR. Bukhari). Dan rasa rindu seperti ini tidak akan muncul kecuali dari adanya sifat muraqabah.
2.    Sesorang yang bermuraqabah kepada Allah, akan memiliki ‘firasat’ yang benar. Al-Imam al-Kirmani mengatakan, “Barang siapa yang memakmurkan dirinya secara dzahir dengan ittiba’ sunnah, secara batin dengan muraqabah, menjaga dirinya dari syahwat, manundukkan dirinya dari keharaman, dan membiasakan diri mengkonsumsi makanan yang halal, maka firasatnya tidak akan salah.” (Ighatsatul Lahfan, juz I/ 48).
Muraqabah merupakan sunnah perintah Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits beliau mengatakan:“Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik guna menghapuskan perbuatan buruk tersebut, serta gaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.” (HR. Tirmidzi)

b. Macam-macam Sifat Muraqabah
Syeikh Dr. Abdullah Nasih Ulwan mengemukakan dalam ‘Tarbiyah Ruhiyah; Petunjuk Praktis Mencapai Derajat Taqwa’ ; ada empat macam bentuk muraqabah, yaitu:
1.    Muraqabah dalam ketaatan kepada Allah SWT, dengan penuh keikhlasan dalam menjalankan segala perintah-Nya Seperti benar-benar menfokuskan tujuan amal ibadahnya hanya kepada Allah dan karena Allah, dan bukan karena faktor-faktor lainnya.
2.    Muraqabah dalam kemaksiatan, dengan menjauhi perbuatan maksiat, bertaubat, menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya dan lain sebagainya.
3.    Muraqabah dalam hal-hal yang bersifat mubah, seprti menjaga adab-adab terhadap Allah, bersyukur atas segala kenikmatan yang telah diberikan-Nya pada kita, bermuamalah yang baik kepada setiap insan, jujur, amanah, tanggung jawab, lemah lembut, perhatian, sederhana, ulet, berani dan lain sebagainya.
4.    Muraqabah dalam musibah yang menimpanya, yaitu dengan ridha pada ketentuan Allah SWT serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran.


c. Sikap Muraqabah Dalam Al-Qur’an
Jika diperhatikan dalam al-Qur’an, akan dijumpai banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan mengenai sikap muraqabah ini, dalam artian bahwa Allah senantiasa mengetahui segala gerak-gerik, tingkah laku, guratan-guratan dalam hati dan lain sebagainya. Sehingga benar-benar tiada tempat untuk berlari bagi esan dari pengetahuan Allah SWT. Sebagai contoh Allah mengatakan dalam al-Qur’an:
1. Pengetahuan Allah tentang apa yang ada dalam hati kita (QS. Al-Baqarah: 284)  
 “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
2. Pengetahuan Allah tentang setiap gerak-gerik kita, hingga dalam sujud sekalipun. (QS. Asy-Syuara: 218-220)

“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

3. Kebersamaan Allah dengan diri kita. (QS. Al-Hadid: 4) :
 “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

4. Pengetahuan Allah tentang sesuatu yang tidak diketahui makhluknya Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 30
"Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

5. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada dihadapan manusia maupun dibelakangnya Allah berfirman, QS. Al-Baqarah:255:
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.”

e. Cara Untuk Menumbuhkan Sifat Muraqabah
Terdapat beberapa cara untuk dapat menumbuh suburkan sikap muraqabah ini, diantara caranya adalah:
1.    Memupuk keimanan kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya, karena iman merupakan pondasi yang paling dasar untuk menumbuhkan sikap seperti ini. Tanpa adanya keimanan, muraqabah tidak akan pernah muncul.
2.    Merenungi ayat-ayat kauniyah (ciptaan Allah SWT) melalui tadabur (baca; perenungan) alam, bahwa ciptaan yang demikian sempurna ini, pastilah dimiliki oleh Dzat yang Maha Sempurna, yang mengetahui hingga sesuatu yang terkecil dari ciptaan-Nya.
3.    Merenungi ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an), dengan mentadaburinya ayat per ayat secara perlahan, dan hal ini juga akan menumbuhkan keimanan kepada Allah SWT.
4.    Melatih diri untuk ‘menjaga’ perintah dan larangan Allah SWT, dimanapun dan kapanmu ia berada, karena hal ini akan menumbuhkan sikap muraqabah dalam jiwa kita.
5.    Muraqabah juga dapat tumbuh dari adanya ‘ziarah qubur’, dengan tujuan bahwa kita semua pasti akan mati dan memasuki kuburan, tanpa teman, tanpa saudara dan tanpa keluarga. Hanya amal kitalah yang akan menemani diri kita. Dan apakah kita telah siap untuk menghadap-Nya?
6.    Memperbanyak amalan-amalan sunnah, seperti dzikrullah, shalat sunnah, tilawah al-Qur’an dan lain sebagainya. Amalan-amalan seperti ini akan menumbuhkan rasa ketenangan dalam hati. Dan rasa ketenangan ini merupakan bekal pokok untuk menumbuhkan muraqabah.
7.    Merenungi kehidupan salaf shaleh dalam muraqabah, rasa takut mereka terhadap azab Allah yang sangat luar biasa, dan lain sebagainya. Untuk kemudian dibandingkan dengan diri kita sendiri; apakah kita sudah dapat seperti mereka, ataukah masih jauh?
8.    Bersahabat dengan orang-orang shaleh yang memilki rasa takut kepada Allah. Dengan persahatan insya Allah akan menimbulkan pengaruh positif pada diri kita untuk turut memiliki rasa takut kepada Allah sebagaimana sahabat kita.
9.    Memperbanyak menangis (karena Allah), dan meminimalisir tertawa, terutama karena senda gurau. Karena jiwa yang banyak tertawa, akan sulit untuk dapat merenungi dan mentadaburi ayat-ayat Allah. Dan jiwa yang terisi dengan keimanan yang membara memunculkan sikap tenang dan tawadhu’.
2. KHAUF
Secara termininologis, yang dimaksud dengan al-khauf (tajut) adalah menghindari perbuatan terlarang yang tidak haram, dan menjauhi sama sekali perbuatan haram. Dalam perspektif al-Qusyairi, khauf adalah perasaan di kedalaman hati yang menghindarkan seorang salik dari segala yang tidak disukai dan tidak diridhai Allah. Al-Qusyairi menegaskan bahwa khauf sangat berpengaruh pada masa depan. Ia berkata, ‘khauf adalah sebuah makna yang berhubungan dengan masa depan, karena orang yang bersangkutan takut melakukan sesuatu yang tidak disukai atau takut melewatkan sesuatu yang disukai, dan semua itu hanya dapat terjadi di masa depan.
Khauf (rasa takut kepada Allah) adalah cambuk Allah swt untuk menggiring hamba-hambaNya menuju ilmu dan amal agar mereka mendapatkan kedekatan dengan Allah swt. Khauf inilah yang mencegah diri dari perbuatan maksiat dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan.Rasa takut kepada Allah SWT yang tertanam dalam diri setiap hamba adalah benih dari perjalanan sebuah proses keimanan, dimana pokok-pokok ibadah telah dijalankan dengan baik dan sempurna. Ada tiga pokok ibadah yang tidak boleh lepas apalagi ditinggalkan oleh manusia dalam pengabdiannya kepada Sang khalik. Hati selalu berzikir, lidah menyampaikan nasihat dan kebenaran dan tubuh sebagai pelaksana dari amal-amal shalih untuk mencapai keridhaan dan menghadirkan cinta-Nya. Kekurangan Khauf akan mengakibatkan kealpaan dan keberanian untuk berbuat dosa. Sebaliknya terlalu berlebihan dalam Khauf akan menyebabkan putus asa-putus harapan. Sebagaimana yang terdapat dalam surah ali imran ayat 175: 
 “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.

a. Tanda-tanda Khauf
Orang mukmin yang sejati ialah orang yang takut kepada Allah swt. dengan seluruh organ dan anggota tubuhnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Abu Laits, bahwa takut kepada Allah dapat dilihat indikasinya dalam tujuh hal berikut ini:
1.    Lidahnya: Orang yang takut kepada Allah swt., selalu berusaha mencegah lidahnya dari berbohong, menggunjing, mengadu domba, membuat dan mengobral perkataan yang tidak berguna. Ia akan menjadikan lidahnya sibuk untuk selalu dzikir kepada Allah swt., membaca Al-Qur'an, berdiskusi dan mengkaji ilmu.
2.    Hatinya: Orang yang takut kepada Allah swt., akan selalu mengeluarkan rasa permusuhan, kebohongan, dan kedengkian dari dalam hatinya karena kedengkian itu dapat merusak kebaikan.
3.    Penglihatannya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak akan melihat pada yang haram, baik mengenai makanan, minuman, pakaian dan lain sebagainya. Dia tidak memandang dunia dengan nafsu ambisi dan keinginannya, tetapi dia memandangnya untuk mengambil pelajaran dan ibrah. Dia tidak memandang pada sesuatu yang tidak halal dilihat olehnya.
4.    Perutnya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak akan memasukkan makanan yang haram ke dalam perutnya, karena yang demikian itu adalah dosa yang besar.
5.    Tangannya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak mau menerima sesuatu yang haram, tetapi selalu berusaha untuk menggapai dan meraih yang mengandung unsur ketaatan dan dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.
6.    Kedua Kakinya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak akan melangkahkan kakinya untuk berjalan dalam kemaksiatan kepada Allah swt. Tetapi kakinya digunakan berjalan dalam ketaatan kepada Allah swt., untuk mencari keridhaan-Nya, untuk berjalan ke arah kebaikan, bergaul bersama ulama dan orang-orang yang shaleh.
7.    Ketaatannya: Orang yang takut kepada Allah swt., selalu mengorientasikan segala aktivitas ketaatan dan keshalehannya hanya untuk mencari keridhaan Allah swt., menjauhi sifat riya' dan kemunafikan.[3]


b. Manfaat Khauf
Keharusan seseorang memiliki rasa takut didasarkan atas dua hal;
Pertama agar terhindar dari kemaksiatan, sebab nafsu yang senantiasa mengajak berbuat jahat itu cenderung melakukan hal yang tidak baik. Nafsu tidak akan berhenti berbuat jahat kecuali jika diancam. Cara mengatasi nafsu harus dilecut dan dicambuk sehingga dapat membuatnya jerah dan takut, baik berupa ucapan, tindakan, atau pikiran.
Kedua agar tidak membangga-banggakan amal solehnya (ujub). Sebab jika sampai berbuat ujub maka dapat menimbulkan celaka dan nafsu itu tetap harus dipaksa dengan dicela dan dihinakan mengenai apa yang ada padanya, berupa kejahatan, dosa-dosa dan berbagai macam bahaya lainnya.

3.    RAJA’ (HARAPAN)
Raja’ atau harap adalah memerhatikan kebaikan dan berharap dapat mencapainya, melihat berbagai bentuk kelembutan dan nikmat Allah swt., dan memenuhi diri dengan harapan demi masa depan serta hidup demi meraih harapan tersebut. Para sufi memberi definisi raja’ dengan pernyataan, “keterkaitan hati dengan sesuatu yang disukai yang akan dicapai dimasa mendatang”. Berdasarkan definisi ini maka raja’ dapat diartikan sebagai penantian datangnya kebaikan-kebaikan dan harapan terhadap ampunan dari maksiat melalui tobat.
Raja’ yang disandarkan pada dasar ketabahan seseorang untuk menghadapi perbuatan buruk yang dilakukannya dan pengembalian kebaikan kepada rahmat ilahi, adalah raja’ yang menghalangi salik dari keterperosokan ke dalam perangkap kesalahan, dosa, dan hal-hal yang tidak patut dilakukan. Selain itu raja’ juga menghalangi seseorang dari ketertipuan terhadap kebaikan yang dilakukannya.
Apabila ia menunggu anugerah Allah, berharap agar yang maha kuasa memantapkan hatinya di jalan yang benar, dan agar dia menjadikan kesudahan hidupnya diwarnai kebaikan, apabila ini yang dilakukan sang hamba, inilah harapan yang sejati, seperti yang telah dinyatakan oleh Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berijtihad di jalan Allah, merekalah yang mengharapkan rahmat Allah; dan Allah maha pengampun dan maha pengasih. (QS. Al-Baqarah:218)

Raja’ berarti harapan. Maksudnya adalah mengharap ridha Allah SWT. Raja’ termasuk akhlak yang terpuji yaitu suatu akhlak yang dapat berguna untuk mempertebal iman dan taqwa kepada Allah SWT.
Seorang yang beriman kepada Allah SWT tentunya memiliki sifat raja’. Dengan sifat raja’ tersebut maka akan tercermin suatu sikap yang khusnudzon, berhaluan maju, dan berpikir yang islami. Khusnudzon adalah sifat yang terpuji yaitu sifat yang menunjukkan prasangka yang baik. Sifat kebalikannya adalah su’udzan yaitu suatu prasangka buruk. Seseorang yang bersifat raja’ akan selalu berprasangka baik terhadap Allah SWT, selalu optimis dalam hidup guna meningkatkan kualitas hidup, berusaha sekuat tenaga untuk meraih yang diinginkan, masalah hasil diserahkan kepada Allah SWT.[4]
Berpikir yang Islami merupakan berpikir dalam rangka mencari ridho allah SWT, sehingga dengan pemikiran tersebut dapat mengenali dirinya sendiri dengan menyadari bahwa hidup ini tidak lain adalah untuk menyembah kepada Allah SWT yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. (Baca surat Adzariyat ayat 56)
a.   Manfaat dari Al-Raja’
Adapun keharusan memiliki rasa raja’ juga dikarenakan dua hal, yaitu;
Pertama agar bersemangat melakukan ketaatan, sebab berbuat baik itu berat dan syaitan selalu mencegahnya. Hawa nafsu selalu mengajak pada perbuatan yang jelek dan tidak baik. Kebanyakan orang memenuhi hawa nafsunya, sedangkan pahala itu tidak kelihatan, dengan demikian tentu nafsu tidak mau dan tidak semangat dalam melakukan kebaikan.
Kedua agar terasa ringan menanggung rasa kesulitandan kesusahan. Karena jika seseorang telah mengetahui sesuatu yang telah menjadi tujuantentu seseorang tersebut akan rela berbuat apapun dan mengeluarkan apapun demi tercapainya tujuan tersebut.[5]

b.  Tanda-tanda Khauf
1.    Selalu berpegang teguh kepada tali  agama Allah, yaitu agama islam
2.    Selalu berharap kepada Allah, agar selalu diberikan kesuksesan dalam berbagai macam usaha dan mendapat ridho dariNya
3.    Selalu merasa takut kepada ancaman dan siksaan Allah di akhirat kelak
4.    Selalu cinta kepada Allah
c.    Proses Pencapaian
a.       Optimis adalah memungkinkan seseorang melewati setiap warna kehidupan dengan lebih indah dan membuat suasana hati menjadi tenang.
b.      Dinamis adalah sikap untuk  terus berkembang, berfikir cerdas, kreatif, rajin, dan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Orang yang bersikap dinamis tidak akan mudah puas dengan prestasi-prestasi yang ia peroleh, tetapi akan terus menerus berusaha untuk meningkatkan kualitas diri.






DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata.177. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum Singer. 2013. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Iqbal Irham. 2013. Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf. Ciputat: Pustaka Al-Ihsan.
Ja’far. 2016.Gerbang Tasawuf. Medan: Perdana Publishing.
Samsul Munir Amir. 2014. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Sinar Grafika Offest.





[1] Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum Singer, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 57
[2] Samsul Munir Amir, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Sinar Grafika Offest, 2014), hal. 157-158
[3] Ja’far, Gerbang Tasawuf, (Medan: Perdana Publishing, 2016), hlm.89.
[4]  Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hal.177.
[5] Iqbal Irham, Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf, (Ciputat: Pustaka Al-Ihsan, 2013), hlm.143.

0 komentar:

Posting Komentar