AHWAL AL MUQARABAH, AL KHAUF, DAN AL RAJA’
JURUSAN JINAYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat, Karunia serta
Taufik dan Hidayahnya jualah, kami mampu menyelesaikan makalah tentang “Ahwal
al muqarabah, al khauf, al raja’”
yang menjadi tugas Mata Kuliah Ahlak Tasawuf. Dan juga kami
berterimakasih kepada ibu Zuraidah Selaku Dosen Pengampu yang telah memberikan
tugas ini kepada kelompok kami.
Kami sangat berharap
makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita
mengenai “Ahwal al muqarabah, al khauf, al raja’” , Serta
cakupan-cakupan yang terkandung didalamnya.
Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap agar pembaca mampu memberikan kritik
serta saran yang bersifat membangun, karena mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa kritik dan saran yang membangun
Semoga makalah ini
dapat difahami bagi penulis dan pembacanya sendiri. Sebelumnya kami memohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan makalah ini dimasa
yang akan datang.
Palembang, 20 November 2017
Kelompok 6
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Makalah ini akan membahas tentang
ahwal, secara umum ahwal ini membahas tentang kondisi dan situasi hati seorang
manusia. Ahwal ini bertempat di dalam kalbu dan tidak kekal sebagai anugerah
Allah. Kendatipun kondisi atau sikap mental itu semata anugerah Allah, bukan
karena latihan dan perjuangan, namun bagi setiap orang yang ingin meningkatkan intensitas
jiwanya haruslah berusaha menjadikan dirinya orang yang berhak menerima
anugerah Allah tersebut. Yaitu dengan meningkatkan amal perbuatannya, baik dari
segi kualitas maupun dari segi kuantitasnya.
Ahwal merupakan komponen
sagat penting perjalanan rohani dan membantu jiwa dalam perjalanannya, asalkan
itu tidak menjadi terikat oleh sebuah hal dan senantiasa diingat bahwa tujuan
dari jalan itu bukanlah untuk mengalami fenomena ini atau itu, meskipun
bersifat spritual, melainkan Allah. Ahwal sangat bermanfaat bagi seseorang
untuk ia mendekatkan diri kepada Allah, terutama bagi kaum sufi, yang mana
sudah di katakan di atas bahwa ahwal ini merupakan peningkatan maqamat seseorang. Ahwal ini
merupakan salah satu hal terpenting yang harus di miliki setiap manusia untuk
ia mendekatkan diri kepada Allah. Bagaimana penelaahan ahwal dan
bagian-bagiannya yaitu al muqarabah, al khauf dan al raja’ , apa saja
manfaatnya dan bagaimana pencapainyannya. Makalah ini akan membahasnya secara
komprehensif.[1]
B. PERMASALAHAN
1.
Apa pengertian
ahwal ?
2.
Apa saja
macam-macam ahwal ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
AHWAL
Istilah ahwal merupakan bentuk jamak
dari hal. Secara etimologi, ahwal berarti sifat dan keadaan sesuatu. Secara
terminologi, yang dimaksud dengan ahwal adalah keadaan atau kondisi psikologis
yang dirasakan ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu.
Ahwal merupakan sebuah batasan
teknis dalam disiplin tasawuf untuk suatu keadaan tertentu yang bersifat tidak
permanen dan kebalikan dari maqamat, yaitu kedudukan kejiwaan yang lebih
bersifat permanen. Hal masuk ke dalam hati sebagai anugerah dan karunia dan rahmat
Allah swt yang tidak terbatas pada hamba-Nya. Hal tidak dapat dicapai melalui
usaha, keinginan, atau undangan. Hal datang dan pergi tanpa di duga-duga.
Keadaan spiritual banyak jumlahnya dan kedudukan spiritual juga banyak.
Dapat dikatakan bahwa hal merupakan
pemberian yang berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Pemberian
itu ada kalanya tanpa melalui usaha. Tidak semua orang yang berusaha itu
berhasil, namun ia menjadi dambaan bagi setiap orang yang menjalani tasawuf.
Hubungan antara usaha dan hasil dalam perkara ini tidak bersifat mutlak.[2]
B. MACAM-MACAM AHWAL
1. Muraqabah
Dari segi bahasa muraqabah berarti
pengawasan dan pantauan. Karena sikap muraqabah ini mencerminkan adanya
pengawasan dan pemantauan Allah terhadap dirinya. Adapun dari segi istilah, muraqabah adalah, suatu
keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya,
melihatnya, mendengarnya, dan mengetahui segala apapun yang dilakukannya dalam
setiap waktu, setiap saat, setiap nafas atau setiap kedipan mata sekalipun.
Makna dari muraqabah adalah
meletakkan sesuatu dibawah perhatian, penantian, pengawasan, dan hidup dibawah
perasaan sedang diawasi. Bagi para sufi, muraqabah adalah ber-tawajuh kepada
Allah dengan sepenuh hati, melalui pemutusan hubungan dengan segala selain
Allah Swt, menjalani hidup dengan mengekang hawa nafsu dari hal-hal terlarang,
dan mengatur kehidupan dibawah cahaya perintah allah selalu meliputi segala
sesuatu.
Dalam perspektif imam Ghazali,
muraqabah merupakan buah dari makfirat yang menghasilkan dua level muraqabah.
Pertama, muraqabahnya orang-orang shiddiqin, orang-orang terpercaya lagi jujur.
Orang-orang shiddiqin bermuqarabbah dengan benar-benar menenggelamkan hati,
perasaan, dan diri mereka sepenuhnya pada keagungan dan kewibawaan Allah.
Kedua muraqabbah orang-orang wara’,
mereka bermuraqabbah dengan menyadari bahwa Allah selalu mengawasi kondisi
lahiriyyahnya dan batiniah mereka. Orang-orang wara’ bermuraqabah dengan
melakukan dua intropeksi: intropeksi sebelum melakukan tindakan dan pada waktu
melakukan tindakan.
a. Manfaat Muraqabah
1. Suatu hal yang sudah pasti dari adanya sifat seperti
ini adalah optimalnya ibadah yang dilakukan seseorang serta jauhnya ia dari
kemaksiatan. Karena ia menyadari bahwa Allah senantiasa melihat dan
mengawasinya. Dalam sebuah
hadits Rasulullah SAW mengatakan :
“Barang siapa yang merindukan pertemuan dengan Allah,
maka Allah pun akan merindukan pertemuannya dengan diri-Nya. Dan barang siapa
yang tidak menyukai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak menyukai
pertemuan dengannya” (HR. Bukhari). Dan
rasa rindu seperti ini tidak akan muncul kecuali dari adanya sifat muraqabah.
2.
Sesorang
yang bermuraqabah kepada Allah, akan memiliki ‘firasat’ yang benar. Al-Imam al-Kirmani mengatakan, “Barang siapa yang memakmurkan dirinya
secara dzahir dengan ittiba’ sunnah, secara batin dengan muraqabah, menjaga
dirinya dari syahwat, manundukkan dirinya dari keharaman, dan membiasakan diri
mengkonsumsi makanan yang halal, maka firasatnya tidak akan salah.”
(Ighatsatul Lahfan, juz I/ 48).
Muraqabah merupakan sunnah perintah
Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits beliau mengatakan:“Bertakwalah kepada
Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik
guna menghapuskan perbuatan buruk tersebut, serta gaulilah manusia dengan
pergaulan yang baik.” (HR. Tirmidzi)
b. Macam-macam Sifat Muraqabah
Syeikh Dr.
Abdullah Nasih Ulwan mengemukakan dalam ‘Tarbiyah Ruhiyah; Petunjuk Praktis
Mencapai Derajat Taqwa’ ; ada empat macam bentuk muraqabah, yaitu:
1.
Muraqabah dalam ketaatan kepada Allah SWT, dengan penuh keikhlasan dalam menjalankan segala
perintah-Nya Seperti benar-benar menfokuskan tujuan amal ibadahnya hanya kepada
Allah dan karena Allah, dan bukan karena faktor-faktor lainnya.
2.
Muraqabah dalam kemaksiatan, dengan menjauhi perbuatan maksiat, bertaubat,
menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya dan lain
sebagainya.
3.
Muraqabah dalam hal-hal yang bersifat mubah, seprti menjaga adab-adab terhadap Allah, bersyukur
atas segala kenikmatan yang telah diberikan-Nya pada kita, bermuamalah yang
baik kepada setiap insan, jujur, amanah, tanggung jawab, lemah lembut,
perhatian, sederhana, ulet, berani dan lain sebagainya.
4.
Muraqabah dalam musibah yang menimpanya, yaitu dengan ridha pada ketentuan Allah SWT serta
memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran.
c. Sikap Muraqabah
Dalam Al-Qur’an
Jika diperhatikan dalam al-Qur’an,
akan dijumpai banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan mengenai sikap
muraqabah ini, dalam artian bahwa Allah senantiasa mengetahui segala
gerak-gerik, tingkah laku, guratan-guratan dalam hati dan lain sebagainya.
Sehingga benar-benar tiada tempat untuk berlari bagi esan dari pengetahuan
Allah SWT. Sebagai contoh Allah mengatakan dalam al-Qur’an:
1. Pengetahuan Allah
tentang apa yang ada dalam hati kita (QS. Al-Baqarah: 284)
“Kepunyaan
Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu
menampakkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya
Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah
mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya;
dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
2. Pengetahuan Allah tentang setiap
gerak-gerik kita, hingga dalam sujud sekalipun. (QS. Asy-Syuara: 218-220)
“Yang
melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula)
perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia
adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
3. Kebersamaan Allah dengan diri kita. (QS. Al-Hadid:
4) :
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu
berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
4. Pengetahuan Allah tentang sesuatu yang tidak
diketahui makhluknya Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 30
"Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
5. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada
dihadapan manusia maupun dibelakangnya Allah
berfirman, QS. Al-Baqarah:255:
“Allah
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka
tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.”
e. Cara Untuk
Menumbuhkan Sifat Muraqabah
Terdapat beberapa cara
untuk dapat menumbuh suburkan sikap muraqabah ini, diantara caranya adalah:
1.
Memupuk
keimanan kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya, karena iman merupakan pondasi
yang paling dasar untuk menumbuhkan sikap seperti ini. Tanpa adanya keimanan,
muraqabah tidak akan pernah muncul.
2.
Merenungi
ayat-ayat kauniyah (ciptaan Allah SWT) melalui tadabur (baca; perenungan) alam,
bahwa ciptaan yang demikian sempurna ini, pastilah dimiliki oleh Dzat yang Maha
Sempurna, yang mengetahui hingga sesuatu yang terkecil dari ciptaan-Nya.
3.
Merenungi
ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an), dengan mentadaburinya ayat per ayat secara
perlahan, dan hal ini juga akan menumbuhkan keimanan kepada Allah SWT.
4.
Melatih
diri untuk ‘menjaga’ perintah dan larangan Allah SWT, dimanapun dan kapanmu ia
berada, karena hal ini akan menumbuhkan sikap muraqabah dalam jiwa kita.
5.
Muraqabah
juga dapat tumbuh dari adanya ‘ziarah qubur’, dengan tujuan bahwa kita semua
pasti akan mati dan memasuki kuburan, tanpa teman, tanpa saudara dan tanpa
keluarga. Hanya amal kitalah yang akan menemani diri kita. Dan apakah kita
telah siap untuk menghadap-Nya?
6.
Memperbanyak
amalan-amalan sunnah, seperti dzikrullah, shalat sunnah, tilawah al-Qur’an dan
lain sebagainya. Amalan-amalan seperti ini akan menumbuhkan rasa ketenangan
dalam hati. Dan rasa ketenangan ini merupakan bekal pokok untuk menumbuhkan
muraqabah.
7.
Merenungi
kehidupan salaf shaleh dalam muraqabah, rasa takut mereka terhadap azab Allah
yang sangat luar biasa, dan lain sebagainya. Untuk kemudian dibandingkan dengan
diri kita sendiri; apakah kita sudah dapat seperti mereka, ataukah masih jauh?
8.
Bersahabat
dengan orang-orang shaleh yang memilki rasa takut kepada Allah. Dengan
persahatan insya Allah akan menimbulkan pengaruh positif pada diri kita untuk
turut memiliki rasa takut kepada Allah sebagaimana sahabat kita.
9.
Memperbanyak
menangis (karena Allah), dan meminimalisir tertawa, terutama karena senda
gurau. Karena jiwa yang banyak tertawa, akan sulit untuk dapat merenungi dan
mentadaburi ayat-ayat Allah. Dan jiwa yang terisi dengan keimanan yang membara
memunculkan sikap tenang dan tawadhu’.
2. KHAUF
Secara termininologis, yang dimaksud
dengan al-khauf (tajut) adalah menghindari perbuatan terlarang yang tidak
haram, dan menjauhi sama sekali perbuatan haram. Dalam perspektif al-Qusyairi,
khauf adalah perasaan di kedalaman hati yang menghindarkan seorang salik dari
segala yang tidak disukai dan tidak diridhai Allah. Al-Qusyairi menegaskan
bahwa khauf sangat berpengaruh pada masa depan. Ia berkata, ‘khauf adalah
sebuah makna yang berhubungan dengan masa depan, karena orang yang bersangkutan
takut melakukan sesuatu yang tidak disukai atau takut melewatkan sesuatu yang
disukai, dan semua itu hanya dapat terjadi di masa depan.
Khauf (rasa takut
kepada Allah) adalah cambuk Allah swt untuk menggiring hamba-hambaNya menuju
ilmu dan amal agar mereka mendapatkan kedekatan dengan Allah swt. Khauf inilah
yang mencegah diri dari perbuatan maksiat dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk
ketaatan.Rasa takut kepada Allah SWT yang tertanam dalam diri setiap hamba
adalah benih dari perjalanan sebuah proses keimanan, dimana pokok-pokok ibadah
telah dijalankan dengan baik dan sempurna. Ada tiga pokok ibadah yang tidak
boleh lepas apalagi ditinggalkan oleh manusia dalam pengabdiannya kepada Sang
khalik. Hati selalu berzikir, lidah menyampaikan nasihat dan kebenaran dan tubuh
sebagai pelaksana dari amal-amal shalih untuk mencapai keridhaan dan
menghadirkan cinta-Nya. Kekurangan Khauf akan mengakibatkan kealpaan dan
keberanian untuk berbuat dosa. Sebaliknya terlalu berlebihan dalam Khauf akan
menyebabkan putus asa-putus harapan. Sebagaimana yang terdapat dalam surah ali
imran ayat 175:
“Sesungguhnya
mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan
kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut
kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang
beriman.
a. Tanda-tanda Khauf
Orang mukmin yang sejati ialah orang yang takut kepada
Allah swt. dengan seluruh organ dan anggota tubuhnya. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Imam Abu Laits, bahwa takut kepada Allah dapat dilihat
indikasinya dalam tujuh hal berikut ini:
1. Lidahnya: Orang yang takut kepada Allah swt., selalu berusaha mencegah
lidahnya dari berbohong, menggunjing, mengadu domba, membuat dan mengobral
perkataan yang tidak berguna. Ia akan menjadikan lidahnya sibuk untuk selalu
dzikir kepada Allah swt., membaca Al-Qur'an, berdiskusi dan mengkaji ilmu.
2. Hatinya: Orang yang takut kepada Allah swt., akan selalu mengeluarkan rasa
permusuhan, kebohongan, dan kedengkian dari dalam hatinya karena kedengkian itu
dapat merusak kebaikan.
3. Penglihatannya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak akan melihat pada
yang haram, baik mengenai makanan, minuman, pakaian dan lain sebagainya. Dia
tidak memandang dunia dengan nafsu ambisi dan keinginannya, tetapi dia
memandangnya untuk mengambil pelajaran dan ibrah. Dia tidak memandang pada
sesuatu yang tidak halal dilihat olehnya.
4. Perutnya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak akan memasukkan makanan
yang haram ke dalam perutnya, karena yang demikian itu adalah dosa yang besar.
5. Tangannya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak mau menerima sesuatu
yang haram, tetapi selalu berusaha untuk menggapai dan meraih yang mengandung
unsur ketaatan dan dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.
6. Kedua Kakinya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak akan melangkahkan
kakinya untuk berjalan dalam kemaksiatan kepada Allah swt. Tetapi kakinya
digunakan berjalan dalam ketaatan kepada Allah swt., untuk mencari
keridhaan-Nya, untuk berjalan ke arah kebaikan, bergaul bersama ulama dan
orang-orang yang shaleh.
7. Ketaatannya: Orang yang takut kepada Allah swt., selalu mengorientasikan
segala aktivitas ketaatan dan keshalehannya hanya untuk mencari keridhaan Allah
swt., menjauhi sifat riya' dan kemunafikan.[3]
b. Manfaat
Khauf
Keharusan seseorang memiliki rasa takut didasarkan atas dua hal;
Pertama agar terhindar dari kemaksiatan, sebab nafsu yang senantiasa mengajak berbuat jahat itu cenderung melakukan hal yang tidak baik. Nafsu tidak akan berhenti berbuat jahat kecuali jika diancam. Cara mengatasi nafsu harus dilecut dan dicambuk sehingga dapat membuatnya jerah dan takut, baik berupa ucapan, tindakan, atau pikiran.
Pertama agar terhindar dari kemaksiatan, sebab nafsu yang senantiasa mengajak berbuat jahat itu cenderung melakukan hal yang tidak baik. Nafsu tidak akan berhenti berbuat jahat kecuali jika diancam. Cara mengatasi nafsu harus dilecut dan dicambuk sehingga dapat membuatnya jerah dan takut, baik berupa ucapan, tindakan, atau pikiran.
Kedua agar tidak membangga-banggakan amal solehnya
(ujub). Sebab jika sampai berbuat ujub maka dapat menimbulkan celaka dan nafsu
itu tetap harus dipaksa dengan dicela dan dihinakan mengenai apa yang ada
padanya, berupa kejahatan, dosa-dosa dan berbagai macam bahaya lainnya.
3.
RAJA’ (HARAPAN)
Raja’ atau harap adalah memerhatikan
kebaikan dan berharap dapat mencapainya, melihat berbagai bentuk kelembutan dan
nikmat Allah swt., dan memenuhi diri dengan harapan demi masa depan serta hidup
demi meraih harapan tersebut. Para sufi memberi definisi raja’ dengan
pernyataan, “keterkaitan hati dengan sesuatu yang disukai yang akan dicapai
dimasa mendatang”. Berdasarkan definisi ini maka raja’ dapat diartikan sebagai
penantian datangnya kebaikan-kebaikan dan harapan terhadap ampunan dari maksiat
melalui tobat.
Raja’ yang disandarkan pada dasar
ketabahan seseorang untuk menghadapi perbuatan buruk yang dilakukannya dan
pengembalian kebaikan kepada rahmat ilahi, adalah raja’ yang menghalangi salik
dari keterperosokan ke dalam perangkap kesalahan, dosa, dan hal-hal yang tidak
patut dilakukan. Selain itu raja’ juga menghalangi seseorang dari ketertipuan
terhadap kebaikan yang dilakukannya.
Apabila ia menunggu anugerah Allah,
berharap agar yang maha kuasa memantapkan hatinya di jalan yang benar, dan agar
dia menjadikan kesudahan hidupnya diwarnai kebaikan, apabila ini yang dilakukan
sang hamba, inilah harapan yang sejati, seperti yang telah dinyatakan oleh
Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berijtihad di jalan Allah, merekalah yang mengharapkan rahmat Allah; dan Allah
maha pengampun dan maha pengasih. (QS.
Al-Baqarah:218)
Raja’ berarti harapan.
Maksudnya adalah mengharap ridha Allah SWT. Raja’ termasuk akhlak yang terpuji
yaitu suatu akhlak yang dapat berguna untuk mempertebal iman dan taqwa kepada
Allah SWT.
Seorang yang beriman
kepada Allah SWT tentunya memiliki sifat raja’. Dengan sifat raja’
tersebut maka akan tercermin suatu sikap yang khusnudzon, berhaluan maju, dan
berpikir yang islami. Khusnudzon adalah sifat yang terpuji yaitu sifat yang
menunjukkan prasangka yang baik. Sifat kebalikannya adalah su’udzan yaitu suatu
prasangka buruk. Seseorang yang bersifat raja’ akan selalu berprasangka baik
terhadap Allah SWT, selalu optimis dalam hidup guna meningkatkan kualitas
hidup, berusaha sekuat tenaga untuk meraih yang diinginkan, masalah hasil
diserahkan kepada Allah SWT.[4]
Berpikir yang Islami merupakan berpikir dalam rangka
mencari ridho allah SWT, sehingga dengan pemikiran tersebut dapat mengenali
dirinya sendiri dengan menyadari bahwa hidup ini tidak lain adalah untuk
menyembah kepada Allah SWT yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah Allah
SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. (Baca surat Adzariyat ayat 56)
a. Manfaat dari
Al-Raja’
Adapun keharusan memiliki rasa raja’ juga dikarenakan dua hal, yaitu;
Pertama agar bersemangat melakukan ketaatan, sebab berbuat baik itu berat dan syaitan selalu mencegahnya. Hawa nafsu selalu mengajak pada perbuatan yang jelek dan tidak baik. Kebanyakan orang memenuhi hawa nafsunya, sedangkan pahala itu tidak kelihatan, dengan demikian tentu nafsu tidak mau dan tidak semangat dalam melakukan kebaikan.
Pertama agar bersemangat melakukan ketaatan, sebab berbuat baik itu berat dan syaitan selalu mencegahnya. Hawa nafsu selalu mengajak pada perbuatan yang jelek dan tidak baik. Kebanyakan orang memenuhi hawa nafsunya, sedangkan pahala itu tidak kelihatan, dengan demikian tentu nafsu tidak mau dan tidak semangat dalam melakukan kebaikan.
Kedua agar terasa ringan menanggung rasa kesulitandan kesusahan. Karena jika
seseorang telah mengetahui sesuatu yang telah menjadi tujuantentu seseorang
tersebut akan rela berbuat apapun dan mengeluarkan apapun demi tercapainya
tujuan tersebut.[5]
b. Tanda-tanda
Khauf
1.
Selalu
berpegang teguh kepada tali agama Allah,
yaitu agama islam
2.
Selalu berharap
kepada Allah, agar selalu diberikan kesuksesan dalam berbagai macam usaha dan
mendapat ridho dariNya
3.
Selalu merasa
takut kepada ancaman dan siksaan Allah di akhirat kelak
4.
Selalu cinta
kepada Allah
c.
Proses Pencapaian
a.
Optimis adalah
memungkinkan seseorang melewati setiap warna kehidupan dengan lebih indah dan
membuat suasana hati menjadi tenang.
b.
Dinamis adalah
sikap untuk terus berkembang, berfikir
cerdas, kreatif, rajin, dan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Orang yang
bersikap dinamis tidak akan mudah puas dengan prestasi-prestasi yang ia
peroleh, tetapi akan terus menerus berusaha untuk meningkatkan kualitas diri.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata.177. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum
Singer. 2013. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Iqbal Irham. 2013. Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf. Ciputat: Pustaka
Al-Ihsan.
Ja’far.
2016.Gerbang Tasawuf. Medan: Perdana
Publishing.
Samsul Munir Amir. 2014. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Sinar Grafika
Offest.
[1]
Ahmad Bangun Nasution
& Rayani Hanum Singer, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 57
[2]
Samsul Munir Amir, Ilmu Tasawuf, (Jakarta:
Sinar Grafika Offest, 2014), hal. 157-158
[3]
Ja’far, Gerbang Tasawuf, (Medan: Perdana
Publishing, 2016), hlm.89.
[4]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2015), hal.177.
[5]
Iqbal
Irham, Membangun Moral Bangsa Melalui
Akhlak Tasawuf, (Ciputat: Pustaka Al-Ihsan, 2013), hlm.143.
0 komentar:
Posting Komentar