HUKUM PROGRESIF
PIDANA HUKUM ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Konsep Hukum Progresif”
ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima
kasih pada Bapak Jon Heri selaku Dosen mata kuliah Sosiologi Hukum, yang telah memberikan tugas ini
kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat
berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Hukum
Progresif, Pengertian, Jenis, dll.
Kami juga menyadari sepenuhnya,
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Kami sangat bersyukur karena telah
menyelesaikan makalah yang menjadi tugas Sosiologi Hukum dengan judul
"Konsep Hukum Progresif". Disamping itu, kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan
makalah ini berlangsung, sehingga terealisasikan makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan,
semoga makalah ini bisa bermanfaat dan jangan lupa ajukan kritik dan saran
terhadap makalah ini agar kedepannya bisa diperbaiki.
Palembang, 19 Maret 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak didasarkan atas kekuasaan.
Hukum harus dijadikan panglima dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan
bernegara. Disamping kepastian dan keadilan hukum juga berfungsi untuk
kesejahteraan hidup manusia. Sehingga boleh dikatakan bahwa berhukum adalah
sebagai medan dan perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan hidup.
Namun
didalam realita kehidupan masyarakat, hukum mengalami sebuah masalah krusial
yang mengaburkan makna dari hukum tersebut. Hukum dijadikan alat untuk
melindungi kepentingan-kepentingan tertentu dan hukum dijadikan sebuah alat
untuk melegalkan tindakan-tindakan yang menistakan nilai-nilai keadilan
ditengah-tengah masyarakat. Hukum hanya dijadikan alat dan bukan tujuan.
Namun
untuk mendapatkan keadilan maka pencari keadilan harus melalui
prosedur-prosedur yang tidak adil. Sehingga hukum menjadi momok yang menakutkan
bagi masyarakat, hukum bukan lagi untuk membahagiakan masyarakat tetapi malah
menyengsarakan masyarakat.
Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi
didalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab kepada
paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis
dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang
senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun
pada peristiwa hukumnya. Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat
sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai
diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.
Hukum
merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan
martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang
terdapat dalam Undang-Undang sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang
menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum
tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai
dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila
kedua Pancasila.
Hukum
Progresif memecahkan kebuntuan itu. Dia menuntut keberanian aparat hukum
menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila proses tersebut benar,
idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar dengan
upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari
praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga
Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum. Apabila kesetaraan
didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan
hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan.
Menurut
Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak
hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter),
melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang
atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan
dengan kecerdasan spiritual.
B.
Permasalahan
1.
Bagaimana konsep hukum progresif?
2.
Bagaimana landasan konseptual hukum
progresif?
3.
Bagaimana penerapan Hukum
Progresif dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia?
1.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Hukum
Progresif
Melihat realitas penggunaan hukum
yang ada, maka pada tatanan penyelesaian hukum tidak dapat lagi menggunakan
cara-cara yang biasa dan konvensional, tetapi membutuhkan cara berhukum yang
luar biasa. Salah satu cara luar biasa yang di tawarkan oleh Prof Satjipto
Rahardjo untuk menghadapi kemelut dalam dunia penegakan hukum kita adalah suatu
tipe penegakan hukum progresif. Penegakan hukum progresif menekankan pada dua
hal, yaitu hukum ada untuk manusia dan bukan manusia ada untuk hukum. Hukum
tidak bisa bekerja sendiri, hukum membutuhkan institusi atau manusia untuk
menggerakannya.
Penegakan hukum progresif adalah
menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam-putih dari
peraturan (according to the letter),melainkan menurut semangat dan
makna lebih dalam (to the very meaning)dari undang-undang atau
hukum. Penegakan hukum tidak hanya dengan kecerdasan intelektual,
melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang
dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap
penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain dari pada
yang biasa dilakukan. Ide penegakan hukum progresif lahir dari refleksi
intelektual yang cukup panjang. Pembahasan penegakan hukum progresif di atas
merupakan salah satu rekam jejak refleksi intelektual yang menjadi titik awal
kenapa penegakan hukum progresif dijadikan sebagai tipe penegakan hukum
alternatif. Tibalah kita pada sebuah kesimpulan bahwa “kebenaran hukum tidak
dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus
dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang“.
Hukum Progresif berarti hukum yang
bersifat maju. Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo,
yang dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Hal ini akibat
dari rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam
mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun
pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan
yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pengertian
sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum progresif
adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk
merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna,
terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan
kesejahteraan manusia.
Secara lebih sederhana hukum
progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir
maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja
untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Secara
spesifik hukum progresif bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum
yang berkeadilan.
Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan
raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan
rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum
adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua
hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak
bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas
maka kriteria hukum progresif adalah :
1.
Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia.
2.
Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3.
Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dimensi
yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga
teori.
4.
Bersifat kritis dan fungsional.
Konsep hukum progresif yang
dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo bila diartikan secara singkat
dapat diartikan sebagai “bagaimana”membiarkan
hukum tersebut mengalir untuk menuntaskan tugasnya mengabdi pada manusia dan
kemanusiaan. Adapun pokok-pokok pemikiran model hukum progresif ini dapat
diuraikan sebagai berikut ini :
1. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat
menuju kepada idealnya hukum;
2. Hukum menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan
hukum sebagai teknologi yang tidak berhati nurani, melainkan suatu institusi
yang bermoral;
3. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia
bahagia;
4. Hukum progresif adalah, “hukum pro rakyat dan pro
keadilan”;
5. Asumsi dasar hukum progresif adalah untuk manusia,
bukan sebaliknya. berkaitan dengan hal ini, maka hukum tidak ada untuk dirinya
sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih besar;
6. Hukum selalu berada dalam proses untuk terus
menjadi (law as a process, law in the making);
Sebagaimana disebutkan diatas, untuk menguji kualitas
dari hukum, tolak ukur yang dapat dijadikan pedoman antara lain keadilan,
kesejahteraan dan keberpihakan kepada rakyat semakin jauh dari kenyataan,
mengingat banyaknya persoalan hukum yang tidak terselesaikan dengan baik. Dengan
demikian peran hukum lebih menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap
keadilan dan kesejahteraan. Artinya keberadaan hukum sudah seharusnya
mencerminkan standar baku dari apa yang baik dan tidak baik, adil dan yang
tidak adil. Perihal tersebut dalam konteks ke Indonesiaan tidak boleh terlepas
dari jati diri bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila
merupakan nilai bangsa yang diterima semua lapisan masyarakat, semua generasi
bahkan semua budaya sehingga sangat layak dijadikan standar utama dalam
kehidupan hukum berbangsa dan bernegara.[1]
B.
Landasan
Konseptual hukum progresif
Studi
hubungan antara konfgurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis
bahwa setiap produk hukum merupakan percerminan dari konfigurasi politik yang
melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh
visi kelompok dominan (Penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan
hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai dari upaya
demokratisasi dalam kehidupan politik.
Kehadiran
hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa
sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah
bagian dari proses pencarian kebenaran (searching for the truth) yang
tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang
sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya
hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan
kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.
Adalah
keprihatinan Satjipti Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para
pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di
Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia
peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada orde baru hukum sudah
bergeser dari social engineering ke dark engineering karena
digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi dunia hukum makin
mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran
diatas adalah makin langkanya kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan
hukum, kemudia Satjipto Rahardjo mengajukan pertanyaan, apa yang salah dengan
hukum kita? Bagaimana jalan untuk mengatasinya?
Agenda
besar gagasan hukum progrsif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas
utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan hukum
progresif mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh karena
itu, hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku
penegak hukum didalam masyarakat. Disinilah arti penting pemahaman gagasan
hukum progesif, bahwa konsep “hukum terbaik” mesti diletakkan dalam konteks
keterpaduan yang bersifat utuh (holistik) dalam memahami problem-problem
kemanusiaan.
Dengan demikian, gagasan hukum progresif tidak semata-mata hanya memahami
sistem hukum pada sifat yang dogmatic, selain itu juga aspek perilaku sosial
pada sifat yang empirik. Sehingga diharapkan melihat problem kemanusiaan secara
utuh berorientasi keadilan substantive.
1.
Hukum Sebagai Institusi Yang Dinamis
Hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi
yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum
selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in
the making). Anggapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut:
Hukum
progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final,
melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.
Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses
untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun
dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik.
Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan,
kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat “hukum
yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making).
Dalam
konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah,
mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada
cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian
hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu
kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui
perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum
sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi
bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk memenuhi
kepentingan kepastian hukum.
2.
Hukum Sebagai Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan
Dasar
filosofi dari hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia. Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum
adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hal itu, maka kelahiran
hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas,
yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan
manusia. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan didalam hukum, maka
hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa
untuk dimasukkan kedalam skema hukum.
Pernyataan
bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai “alat”
untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh
karena itu menurut hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia,
melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan subtantif yang harus lebih
didahulukan ketimbang keadilan prosedural, hal ini semata-mata agar dapat
menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-problem kemanusiaan.
3.
Hukum Sebagai Aspek Peraturan dan Perilaku
Orientasi
hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku (rules and
behavior). Peraturan akan membangun sistem hukum positif yang logis dan
rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan menggerakkan peraturan dan
sistem yang telah terbangun itu. Karena asumsi yang dibangun disini, bahwa
hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan masyarakatnya.
Dengan menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan
demikian faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai
unsur greget seperti compassion (perasaan
baru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment (tanggungjawab), dare (keberanian)
dan determination (kebulatan tekad).
Satjipto rahardjo mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim
yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan
yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan
perundang-undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa
kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek
kemanusiaan.
Mengutamakan
faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan diatas faktor peraturan,
berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari aras
legalistik-positivistik ke aras kemanusiaan secara
utuh (holistik), yaitu manusia sebagai pribadi (individu) dan makhluk
sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai tanggung jawab
individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan keadilan kepada siapapun.
4.
Hukum Sebagai Ajaran Pembebasan
hukum
progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri
dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-positivistik.
Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan”
daripada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum, maka
diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan
“mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”.
Satjipto
Rahardjo memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai berikut. Tindakan
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar
atmosfir korupsi di lingkungan Mahkamah Agung. Kemudian dengan berani hakim
Agung Adi Andojo Sutjipto membuat putusan dengan memutus bahwa Mochtar Pakpahan
tidak melakukan perbuatan makar pada rezim Soeharto yang sangat otoriter.
Selanjutnya, adalah putusan pengadilan tinggi yang dilakukan oleh Benyamin
Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia melawan Menteri Penerangan yang berpihak
pada Tempo.
Paradigma
“pembebasan” yang dimaksud disini bukan berarti menjurus kepada tindakan
anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada “logika
kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan
“logika peraturan” saja. Di sinilah hukum progresif itu menjunjung tinggi
moralitas. Karena hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong
sekaligus pengendali “paradigma pembebasan” itu. Dengan begitu, paradigma hukum
progresif bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan membuat
hukum progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas
serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya.[2]
C.
Penerapan
Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia
Dalam
tradisi pemikiran legal-positivism, yang banyak dianut oleh Negara
demokrasi sekarang ini, hukum dikonsepsikan sebagai produk legislasi. Hukum
adalah peraturan perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses legislasi
nasional. Hukum berlaku, semata-mata karena telah ditetapkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, tanpa melihat apakah isinya memuat nilai-nilai
keadilan atau tidak. Dalam sistem ini, pelaku hukum (hakim dan birokrasi),
sebagaimana doktrin dalam analytical jurisprudence, hanya bertugas sebagai
terompet atau corong undang-undang.
Penggunaan
pemikiran legal-positivism, dalam situasi hukum perundang-undangan yang
elitis, akan menyebabkan kesenjangan (ketidakadilan ekonomi) dan kemiskinan
semakin meluas, sebab kemacetan demokrasi yang terjadi dibawah tekanan
Neoliberalisme, akan menyebabkan hukum yang dihasilkan dari proses legislasi
akan cenderung berpihak pada kepentingan elit dan mengabaikan keadilan dan
kesejahteraan rakyat banyak.
Menurut
Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya bertugas melayani manusia, bukan
sebaliknya. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada
masyarakat. Inilah hukum progresif, yang menganut ideologi hukum yang
pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Hukum progresif ini, ditawarkan untuk
mengatasi krisis di era global sekarang ini. Dedikasi para pelaku hukum
mendapat tempat yang utama untuk melakukan perbaikan. Para pelaku hukum, harus
memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa
ini. Kepentingan rakyat harus menjadi orientasi utama dan tujuan akhir
penyelenggaraan hukum. Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi pada
dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Ini
berbeda dengan tradisi analytical jurisprudence yang cenderung
menepis dunia luar dirinya; seperti manusia, masyarakat dan kesejahteraannya.
Dalam
pandangan hukum progresif, pelaku hukum harus memiliki kepekaan pada
persoalan-persoalan krusial dalam hal hubungan manusia, termasuk
keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang menindas; baik politik,
ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks ini, hukum progresif harus tampil
sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan). Hukum progresif yang
menghendaki pembebasan dari tradisi keterbelengguan, memiliki kemiripan dengan
pemikiran Roscoe Pound tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial (social
engineering). Usaha social engineering, dianggap sebagai kewajiban untuk
menemukan cara-cara yang paling baik untuk memajukan atau mengarahkan
masyarakat. Bukti monumental tentang penggunaan hukum sebagai alat
perubahan sosial, terjadi di Amerika Serikat pada 1954. Keputusan Mahkamah
Agung Amerika untuk mengubah perilaku orang kulit putih Amerika, yang
sebelumnya menaruh sikap prasangka pada orang-orang Negro. Untuk menghilangkan
sikap tersebut, Mahkamah Agung melalui putusannya, bahwa pemisahan ras di
sekolah-sekolah negeri, bertentangan dengan konstitusi Amerika.
Penerapan
hukum progresif, yang pada dasarnya terarah kepada para pelaku hukum ini,
diharapkan akan dapat mengarahkan hukum yang dihasilkan oleh proses legislasi,
yang cenderung elitis, untuk mengarah pada kepentingan keadilan dan
kesejahteraan rakyat banyak. Pintu masuk bagi penerapan hukum progresif dalam
praktik pengadilan di Indoensia, secara formal telah diberikan oleh UU Kekuasaan
Kehakiman yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bertugas untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Dalam rangka itu, hakim diwajibkan untuk menggali
nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini berarti
bahwa hakim tidak sekedar bertugas menerapkan peraturan dengan apa adanya,
tetapi bagaimana penerapan itu dapat mewujudkan keadilan. Di sini kreativitas
hakim menjadi sangat menentukan.
Dalam
pelaksanaan kontrak, menunjukkan bahwa pengadilan di Indonesia pada awalnya
sangat mengedepankan asas facta sunt servanda dari pada asas iktikad
baik. Mengedepankan asas facta sunt servanda, berarti mengedepankan isi
perjanjian sesuai dengan apa yang secara formal sudah disepakati oleh para
pihak secara sah, dan itulah yang oleh pengadilan diberlakukan sebagai
undang-undang bagi para pihak. Ini merupakan gambaran dari cara berpikir
yang legal-positivism, yang hanya memaknai aturan (dalam hal ini
perjanjian) secara formal tekstual, yang mengabaikan keadilan. Namun
belakangan, sikap pengadilan Indonesia ternyata bergeser ke arah yang lebih
mengedepankan iktikad baik.
Dengan
demikian tradisi berpikir yang progresif ini perlu terus didorong, agar
benar-benar menjadi budaya hukum dikalangan para penegak hukum terutama para
hakim. Apabila para hakim, sudah tidak lagi terbelenggu dengan tradisi
berpikir legal-positivism, maka tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan rakyat, akan menjadi lebih memungkinkan, sekalipun hukum
perundang-undangan yang dihasilkan dalam proses legislasi cenderung elitis.[3]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Penggunaan
penafsiran sebagai pengaruh perkembangan masyarakat pada dasarnya membuka
peluang bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum secara progresif. Penemuan
hukum secara progresif tidak terlepas dari keinginan hati nuranih untuk
menegakkan keadilan dengan berpijak pada nilai-nilai hukum di masyarakat.
Paradigm yang menempatkan hakim sebagi terompet atau corong undang-undang
sangat tidak benar. Secara khusus ditegaskan dalam UU No.48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dengan menekankan tugas hakim untuk menegakkan hukum dan
keadilan.
Penerapan
hukum progresif, mengarahkan hukum yang dihasilkan oleh proses legislasi, yang
cenderung elitis, untuk mengarah pada kepentingan keadilan dan kesejahteraan
rakyat banyak. Pintu masuk bagi penerapan hukum progresif dalam praktik
pengadilan di Indoensia, secara formal telah diberikan oleh UU Kekuasaan
Kehakiman yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bertugas untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Praktik pengadilan di Indonesia, menunjukkan mulai
berkembangnya cara-cara penerapan hukum yang progresif, namun
tradisi legal-positivism masih menjadi mainstream para
hakim.
DAFTAR
PUSTAKA
Hartono. 2010.
Penyidikan dan Penegakan hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif. Jakarta:
Sinar Grafika.
Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Rifai, Ahmad. 2001. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif
Hukum Progresif. Jakarta:Sinar Grafika.
[1] Hartono, Penyidikan dan Penegakan hukum Pidana Melalui Pendekatan
Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 10.
[2]
Ahmad
Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim
dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.19.
[3] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta, Genta Publishing,
2009), hlm. 2.
0 komentar:
Posting Komentar