BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam Islam kita
semua diwajibkan mengenal siapa yang kita sembah, agar kita ikhlas dan senang
mengerjakan semua perintah yang diberikan-Nya kepada kita. Kita sering
mendengar ungkapan yang tidak asing lagi ditelinga kita yaitu: اَوَّلُ الدِّيْنِ مَعْرِفَةُ اللهِ
yang pertama agama itu mengenal Allah.
Sedangkan
Ma’rifah ialah ilmu atau pengetahuan
yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifah” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati
sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah
dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan
maqamat, seperti hidup zuhud, ibadah dan barulah tercapai ma’rifah.
Dalam
makalah ini kita akan membahas tentang Mahabbah
dan Ma’rifah beserta tujuan,
kedudukan, paham, tokoh sufi,serta mahabah dan ma’rifah dalam pandangan
al-Qur’an dan al hadits, Maka jika ada kesalahan yang sekiranya di luar kesadaran,
kami siap menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian.
B.
Rumusan
masalah
1.
Apa pengertian dan tanda ma’rifah?
2.
Sebutkan
macam macam ma’rifah?
3.
Siapakah tokoh yang mengembangkan
Ma’rifah?
4.
Jelaskan manfaat dari ma’rifah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Tanda Ma’rifah
Dari
segi bahasa, ma’rifah berasal dari kata ‘arafa,
yaitu ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah yang
artinya mengetahui atau pengalaman. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman
tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi
mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian
istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain:
a. Dr.
Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama’ Tasawuf yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ
جَزْمُ قَلْبِ بِوُجُوْدِالْوَاجِبِ الْمَوْجُوْدِ مُتّصِفاً
بِساَئِرِالْكَلِماَتِ
Artinya:
“Ma’rifah
adalah ketepatan hati (dalam memercayai hadirnya)wujud
yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaan.”
b. Asy-Syekh
Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang
mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ
طُلُوْعِ الْحَقِّ، وَهُوَالْقَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الْاَنْوَارِ
Artinya:
“Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada
sufi).... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”
c. Imam
Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang
mengatakan:
اْلْمَعْرِفَةُ
يُوْجِبُ السّكِينَةَ فيِ الْقَلْبِ كَماَ اَنَّ الْعِلْمَ يُوْجِبُ السّكُوْنَ،
فَمَنِ ازْدَادَتْ مَعْرِفَتُهُ اِزْدَادَتْ سَكِيْنَتُهُ
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana
ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang
meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”
Tidak
semua orang yang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai kepada tingkatan
ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah, memiliki
tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang
mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada
tingkatan ma’rifah, antara lain:
a. Selalu
memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan prilakunya, karena itu,
sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b. Tidak
menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata,
kerena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak
menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa
membawanya kepada perbuatan yang haram[1].
Dari
sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehiduoan yang
mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan
ibadahnya kepada Allah SWT. Sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal
mengatakan bahwa Ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan
kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
a. Imam
Rawin mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan ia
berada di muka cermin, bila ia memandanginya, pasti ia melihat lagi dirinya
dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhannya. Maka tiada lain
yang dilihatnya dalam Tuhannya. Maka tidak lain yang dilihatnya dalam cermin,
kecuali hanya Allah SWT., saja.
b. Al-Junaid
Al-Baghdadiy mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan
sifat air gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Sufi yang
sudah larut (hulul) dalam Tuhannya selalu menyerupai sifat-sifat dan
kehendaknya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Sufi, selalu merasa menyesal
dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus,
meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal
bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifah itu adalah keadaan yang
diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan dengan Tuhannya,
sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat
tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus
dilaluinya secara berurutan; mulai dari syariat, Tarikat, Hakikat, dan
Ma’rifah. Tidak mungkin dapat ditempuh secra terbalik dan tidak pula secara
terputus-putus.
Dengan
cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan
mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan[2].
B.
Macam
Macam Ma’rifat
Secara
garis besar dapat diambil sebuah kejelasannya, bahwa Ma’rifat dapat dibagi
kedalam dua kategori : pertama, Ma’rifah
Ta’limiyat, dan kedua Ma’rifah
Laduniah.
1. Ma’rifah
Ta’limiyat
Ma’rifah
Ya’limiyat merupakan istilah lain Ma’rifah yang di lontarkan oleh al-Ghazali,
dapat di depinisikan sebagai Ma’rifah yang dihasilkan dalam usaha memperoleh
Ilmu. ta’limiyat berasal dari kata ta’lama, yuta’limu, ta’liman-ta’limiyatan
yang berarti mencari pengetahuan atau dalam arti lain memperoleh ilmu pengetahuan.
Sedangkan orang yang yang sedang mencari ilmu disebut muta’alim. Oleh karena itu
Ma’rifah ta’limiyat yaitu berjalan untuk mengenal Allah dari jalan yang biasa,
“mulai dari bawah hingga keatas”.
Di sisi teori yang lain Ma’rifah ta’limiyat dapat disebut juga dengan Ma’rifah orang salik. Pada mulanya salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian mengenal nama-nama-Nya, kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam Allah. Adapun penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah lain disebut asamul al-husna.
Di sisi teori yang lain Ma’rifah ta’limiyat dapat disebut juga dengan Ma’rifah orang salik. Pada mulanya salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian mengenal nama-nama-Nya, kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam Allah. Adapun penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah lain disebut asamul al-husna.
Adapun
yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna adalah Allah Azza wa Jalla.
Nama-nama itu disebutkan dalam Firman-Nya :
Artinya
: “Serulah Allah atau Rahman. Mana
saja nama Tuhan yang kamu seru, Dia adalah adalah mempunyai nama-nama yang
baik”. (Q.S. Al-Isra’: 110)
Ma’rifat
ta’limiyat secara lebih luas dapat didefinisikan sebagai proses bagaimana cara
mengenali Tuhan (Ma’rifat). artinya salik (muta’alim) memerlukan metode
untuk meraih Ma’rifat baik metode yang dilakukan secara khusus misalnya menjadi
murid untuk melakukan proses perjalanan ruhani (suluk) dalam tarekat sufi
secara metodik, maupun metode yang dilakukan secara umum atau tarekat yang
secara langsung mengkaji dari sumber-sumber Tasawuf atau mengikuti jejak
langkah yang dilakukan oleh Rasulullah, Para sahabat, Tab’iin, Atba At-Tabi’in
sampai ulama sekarang yang sejalan dengan al-Quran dan Hadits.
Adapun
Arifubillah Muhammad bin Ibrahiim mendefinisikan bahwa hakikat cara (suluk),
ialah mengosongkan diri Dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari maksiat lahir dan
dari maksiat batin) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji/mahmudah (dengan
taat lahir dan batin). Tujuan dari pada suluk, bukan sekedar untuk maksud
mendapat ni’mat dunia dan akhirat atau untuk memperoleh limpahan-limpahan
karunia Allah, arau mendapatkan sorotan cahaya (nur), dan lain-lain,
sehingga salik (muta’alim) dapat mengetahui suratan nasib. Tetapi suluk bertujuan
untuk Allah semata. Dengan jalan suluk, maka semua pelajaran-pelajaran yang
dipelajari dalam Tasawuf/ Tarekat, dengan karunia-Nya salik sendiri akan
mengalami keyakian dekat dengan Tuhan. Firman Allah :
فَاْسلُكِى
سُبُلَ َرّبِكَ ذُللاًّ
Artinya : “Maka tempuhlah jalan Tuhan-Mu yang telah
dimudahkan bagimu. Dalam menempuh jalan Tuhan (suluk) maka ahli-ahli
Tasawuf/Tarekat merasa yakin akan sapai kepada Tuhan”.
Adapun
fase-fase yang harus ditempuh kerah mencapai hakikat, salik (muta’alim)
dapat melakukan amal ibadat cara menuju kepada Tuhan dengan menempuh empat fase
:
Fase
1. Disebut dengan murhalah amal lahir. Artinya : berkenalan melakukan amal
ibadat yang dipardukan dan sunnat, sebagai mana yang dilakukan Rosulullah Saw.
Fase
2. disebut amal batin atau moraqabah (mendekatkan diri pada Allah) dengan
jalan menyucikan diri dari maksiat lahir dan batin (takhalli), memerangi hawa
nafsu, dibarengi dengan amal yang terpuji (mahmudah) dari taat lahir dan batin
(tahalli) yang semuanya itu merupakan amal qalb (hati).
Fase
3. disebut murhalah riadhah/ melatih diri dan mujahadah/ mendorong diri.
Maksud dari dari pada mujahadah yakni melakukan jihad lahir dan batin
untuk menambah kuatnya kekuasaan ruhani atas jasmani, guna membebaskan jiwa
kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci.
Fase
4. disebut murhalah “fana kamil” yaitu jiwa salik telah mencapai pada
martabat menyaksikan langsung yang haq dengan al-haqq (syuhudul haqqi bil
haqqi). Pada fase keempat ini, sebagai puncak segala perjalanan, maka
didatangkan nur yang dinamakan “nur kehadiran”[3].
2. Ma’rifah
Laduniyah
Ma’rifah
laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan
kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat
yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian
kembali bergantung kepada nama-nama-Nya. Ibnu ‘Atha’illah memberi istilah lain
terhadap Ma’rifah laduniyah dengan sebutan Ma’rifah orang mahjdub. Ma’rifah
orang mahjdub yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang
diberikan secara langsung oleh Tuhan kepada manusia yang ada sisi kesamaannya
dengan Ma’rifah Laduniyah.
Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifah talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan. Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Dengan demikian Ma’rifah laduniyah juga dapat disebut Ma’rifah orang Mahjdzub juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.
Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifah talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan. Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Dengan demikian Ma’rifah laduniyah juga dapat disebut Ma’rifah orang Mahjdzub juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.
Firman
Allah dalam al-Qur’an :
اتَيْنَاهُ
رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَاوَعَلَمْنَاهُ مِنْ لَدُنّاَعِلْمًا الكهف
Artinya
: “…yang telah berikan padanya rakmat
dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami”
(al-Kahfi : 65).
Ma’rifah
laduniyah tidak jauh bedanya dengan ‘alim Rabbani yang berbeda dengan Ilmu yang
dipelajari para Ilmuwan, dalam istilah al-Ghazali disebut dengan Ilmu
ta’limiyat. Namun, keduanya tetap berhubungan. Hubungan antara keduanya,
menurut al-Ghazali laksana naskah asli dengan duplikatnya. Hal ini mirip dengan
teori plato bahwa Ilmu yang ada di alam ide itu lebih murni dari pada ilmu yang
telah digelar di alam raya, namun kedunya persis sama, seperti halnya naskah
asli dengan duplikatnya atau fotokopinya. Ilmu laduniyah, ‘alim Ar-Rabani,
‘alim sejati, dan Ma’rifat orang mahjdub dapat dicapai oleh para sufi dalam
keadaan penghayatan Kasyf, sedang ilmu ta’limyah hanya dapat dipelajari oleh
para ilmuwan setapak demi setapak dengan susah payah.
Dalam
hal ini Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan hikmahnya sebagai berikut :
اَشْهَدَكَ
مِنْ قَبْلِ اَنْ يَسْتَشْهَدَكَ فَنَطَقَتْ بِإِلَهِيَّتِهِ
الّظَوَهِرُوَتَحَقَّقَتْ بِأَحَدِيـــَّــتِهِ الْقُلُوْبُ وَالسَّرَاِئرِ
Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia menuntut kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir mengucapkan (mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati menyatakan dengan sifat-sifat ke Easaan-Nya.
Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia menuntut kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir mengucapkan (mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati menyatakan dengan sifat-sifat ke Easaan-Nya.
Maksud
perkataan hikmah tersebut adalah “Tuhan menampakan keluhuran dan keagungan
Dzat-Nya didalam hati seseorang, setelah itu Allah menunutut persaksian
kepadamu mengenai kebesaran dan keluhuran-Nya dengan melakukan dzikir dan
Ibadah. Ibadah yang dilakukan dengan anggota lahir sebagai persaksian
mengenai keagungan dan keluhuran-Nya, dan dzikir yang dilakukan dalam
hati sebagai pengakuan dari sifat-sifat ke-Esaan-Nya[4].
C.
Tokoh
Ma’rifat
Dalam
litelatur tasawuf, dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat,
yaitu al-Ghazali dan Dzannun al-Misri.
Al-Gazali
Al-Gazali
mengakhiri masa pertualangannya, karena telah mendapat “pegangan” yang
sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat.
Pegangan itu ialah “Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah
suci Mekkah dan Madinah.
Mengakhiri
hidup menyendiri dan masuk kembali ke tengah masyarakat, sesudah bertahun-tahun
lamanya menggali-gali kebenaran untuk dirinya sendiri, karena dia tetap
beribadat dan tetap berbuat amal di mana saja dia berada, tetapi persoalannya
ialah jalan mana yang benar ditempuh untuk meyakinkan kebenaran itu kepada
khayalak ramai.
Sesudah
mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka terbukalah pikirannya
untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. Hidup pertualangan yang berjalan 10
tahun lamanya, sudah cukup membosankannya, dan timbullah pikiran yang normal
untuk kembali hidup di tengah masyarakat.
Terhadap
hal ini, Al-Ghazali mengatakan: “kemudian panggilan anak-anak dan cinta
keluarga menarik sebagai besi berani supaya aku pulang ke tanah air. Aku
bersiap-siap akan pulang sesudah bertahun-tahun aku menjauhinya karena
mengutamakan hidup berkhalwat dan menyendiri untuk membersihkan jiwa mengingat
Tuhan. Peristiwa-peristiwa hidup, kepentingan hidup berkeluarga dan
desakan-desakan hidup telah mengubah tujuan hidupku, mengacukan pikiran
berkhalwat, sehingga timbullah kegelisahan batin yang tidak membersihkan
suasana hidupku lagi. Sungguhpun begitu, tidaklah putus harapanku dan segala
arah yang melintang aku singkirkan ke pinggir, supaya dapat aku pulang
kembali”.
Hatinya
sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah mungkin dia
pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah. Kebetulan
datanglah panggialan yang ditunggu-tunggunya itu. Perdana Mentri Fakhrul Mulk,
putera dari Nizamul Mulk almarhum, telah memintanya supaya segara pulang ke
Niesabur untuk memimpin Universitas Nizamiyah yang di tanggalkannya.
Dzannun al-Misri
Adapun
Dzannun al-Misri berasal dari Naubah, suatu Negeri yang terletak diantara Sudan
dan Mesir. Lahir pada tahun 180H/799M dan wafat pada tahun
246H/865M. Menurut Hamka, beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan
menuju Tuhan, yaitu mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang diturunkan dan
takut terpalingkan dari jalan yang benar. Dalam sebuah hikayat, Dzunnun
terkenal sebagai orang yang tinggi ilmu agamanya serta mustajab do’anya. Dalam
sebuah cerita disebutkan bahwa nama Dzunnun muncul ketika terjadi sebuah
peristiwa yang menunjukkan karomah yang dimilikinya.
Pada
saat mengadakan perjalanan, Dzunnun dituduh mencuri batu berharga yang
mengakibatkan dirinya disiksa. Namun merasa tidak melakukan, Dzunnun berdoa dan
memohon kepada Allah tentang kebenaran. Akhirnya do’anya dikabulkan melalui
ribuan ikan yang membawa batu berharga di mulutnya dan mendekati kapal kemudian
menyerahkan kepada saudagar yang menuduhnya mencuri.
Dalam
sejumlah kitab, Dzunnun dikabarkan sebagai orang zuhud dan berilmu tinggi.
Kema’rifatannya tentang Tuhan mampu menembus batas-batas kosmik manusia biasa.
Dalam sufi terdapat beberapa tingkatan ma’rifat. Yang pertama adalah tingkatan
yang paling rendah yang berada pada orang awam. Tingkatan ini mengakui adanya
Tuhan serta membenarkan apa yang disampaikan Rasul-Nya. Kedua tingkatan Teolog
atau Filosof. Tingkatan ini mengetahui Tuhan berdasarkan pertimbangan empiris
dan penciptaan, dan belum menyaksikan langsung dalam penyingkapan bathin.
Tingkatan yang ketiga adalah tingkatan yang paling tinggi didalam kema’rifatan,
yaitu mengetahui keberadaan, sifat dan perilaku Tuhan melalui sanubarinya.
Menurut Dzunnun, kema’rifatan dapat dilihat dengan mengetahui cirri-cirinya
yaitu selalu bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa bersyukur.
Dalam
tingkatan ketaqwaan, Dzunnun juga menyinggung masalah khauf atau rasa takut
kepada Allah serta mahabbah kepada Allah. Tuhan harus dicinyai dari segalanya.
Seseorang yang mencintai khaliq akan berbuat apa saja untuk dicintainya bahkan
masuk neraka sekalipun adalah lebih baik dimata Dzunnun dari pada berpisah dari
sang khaliq[5].
D.
Manfaat
Ma’rifat
Mengenal
Allah adalah aset terbesar. Mengenal Allah akan membuahkan akhlak
mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan merasa ditatap,
didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila
demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat
kita tidak mengenal Allah, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat,
tidak tenang dalam hidup, dan sebagainya.
Ciri
orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak
takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat
diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita
belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur
dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia
dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas
bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah[6].
Salah
satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya. Terjaganya
ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
Pertama, Hidup
selalu berada di jalan yang benar (on the right track).
Kedua, memiliki
kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya
keimanan.
Ketiga, Allah
akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal
harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa
pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah
gelisah.
Keempat, seorang
ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan
mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan seseorang untuk
berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan,
gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan.
Kelima, seorang
ahli ibadah memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam
kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah SWT akan memberi
peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ibadah akan memiliki
kemampuan untuk bertobat.
Keenam, selalu
ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah sudah
menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan dituntun untuk
melewati jalan tersebut.
Ketujuh, seorang
ahli ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya
bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang diambilnya selalu
tepat.
Kemampuan
Manusia untuk melakukan Ma’rifat Allah menciptakan manusia dengan sempurna
yaitu diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian
manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya menggunakan pemberian
Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5).
KESIMPULAN
Apabila
melihat dari keterangan diatas dihubungkan dengan pengalaman
tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi
mencapai suatu maqam dalam tasawuf. Dijelaskan pula, bahwa tanda orang makrifah
itu ada tiga:
1.
Cahaya makrifatnya tidak memadamkan
cahaya wara’nya.
2.
Tidak
meyakini ilmu bathiniah yang dapat merusak lahiriah huku
3.
Banyaknya nikmat yang dianugerahkan
Allah kepadanya dan tidak membawanya pada kebinasaan sampai merusak tabir dan hal-hal
yang diharamkan oleh Allah.
Dan
di jelaskan pula macamnya ma’rifat diantaranaya:
1.Ma’rifat
Ya’limiyat yaitu dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan dalam
usaha memperoleh Ilmu.
2.
Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan
keadaan kasf, mengenal kepada-Nya.
Bila melihat keterangan di atas manfaaat Ma’rifat adalah dapat mengingat
Allah, bisa mengetahui keagungan Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdillah.
144.Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam. Surabaya:
Jawara.
Djamaluddin, Ahmad. 2002. Menelusuri Taman-taman Mahabbah Shufiyah.
Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf Antara Agama dan Filsafat.
Bandung: Pustaka Hidayah.
Mustafa, Ahmad. 2008. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Syukur,
Amin. 2004.Tasawuf Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
[1]
Djamaluddin
Ahmad, Menelusuri Taman-taman
Mahabbah Shufiyah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), hal. 22.
[3] Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf , (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hal. 39.
[4]
Ibrahim
Hilal, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm 134.
[5]
Abdillah, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam,
(Surabaya: Jawara, 2004), hal. 144.
[6] Ibid;
0 komentar:
Posting Komentar