Makalah Ma’rifah (AKHLAK TASAWUF)

Edit Posted by with No comments

BAB I
PENDAHULUAN

A.                  Latar Belakang Masalah
Dalam Islam kita semua diwajibkan mengenal siapa yang kita sembah, agar kita ikhlas dan senang mengerjakan semua perintah yang diberikan-Nya kepada kita. Kita sering mendengar ungkapan yang tidak asing lagi ditelinga kita yaitu: اَوَّلُ الدِّيْنِ مَعْرِفَةُ اللهِ yang pertama agama itu mengenal Allah.
Sedangkan Ma’rifah ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifah” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup zuhud, ibadah dan barulah tercapai ma’rifah.  
Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Mahabbah dan Ma’rifah beserta tujuan, kedudukan, paham, tokoh sufi,serta mahabah dan ma’rifah dalam pandangan al-Qur’an dan al hadits, Maka jika ada kesalahan yang sekiranya di luar kesadaran, kami siap menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian.

B.                   Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dan tanda ma’rifah?
2.      Sebutkan  macam macam ma’rifah?
3.      Siapakah tokoh yang mengembangkan Ma’rifah?
4.      Jelaskan manfaat dari ma’rifah ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Tanda Ma’rifah
Dari segi bahasa, ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, yaitu ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah yang artinya mengetahui atau pengalaman. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain:
a.         Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama’ Tasawuf yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ جَزْمُ قَلْبِ بِوُجُوْدِالْوَاجِبِ الْمَوْجُوْدِ مُتّصِفاً بِساَئِرِالْكَلِماَتِ
Artinya:
Ma’rifah adalah  ketepatan  hati (dalam memercayai hadirnya)wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaan.”

b.        Asy-Syekh Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْعِ الْحَقِّ، وَهُوَالْقَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الْاَنْوَارِ
Artinya:
“Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi).... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”

c.    Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
اْلْمَعْرِفَةُ يُوْجِبُ السّكِينَةَ فيِ الْقَلْبِ كَماَ اَنَّ الْعِلْمَ يُوْجِبُ السّكُوْنَ، فَمَنِ ازْدَادَتْ مَعْرِفَتُهُ اِزْدَادَتْ سَكِيْنَتُهُ
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).
Tidak semua orang yang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain:
a.    Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan prilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b.    Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, kerena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c.    Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram[1].
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehiduoan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT. Sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa Ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
a.       Imam Rawin mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan ia berada di muka cermin, bila ia memandanginya, pasti ia melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhannya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam Tuhannya. Maka tidak lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT., saja.
b.    Al-Junaid Al-Baghdadiy mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan sifat air gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Sufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhannya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendaknya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Sufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus, meskipun hanya sekejap mata saja.
c.       Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifah itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan dengan Tuhannya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari syariat, Tarikat, Hakikat, dan Ma’rifah. Tidak mungkin dapat ditempuh secra terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan[2].

B.     Macam Macam Ma’rifat
Secara garis besar dapat diambil sebuah kejelasannya, bahwa Ma’rifat dapat dibagi kedalam dua kategori : pertama, Ma’rifah Ta’limiyat, dan kedua Ma’rifah Laduniah.
1.    Ma’rifah  Ta’limiyat
Ma’rifah Ya’limiyat merupakan istilah lain Ma’rifah yang di lontarkan oleh al-Ghazali, dapat di depinisikan sebagai Ma’rifah yang dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu. ta’limiyat berasal dari kata ta’lama, yuta’limu, ta’liman-ta’limiyatan yang berarti mencari pengetahuan atau dalam arti lain memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang yang sedang mencari ilmu disebut muta’alim. Oleh karena itu Ma’rifah ta’limiyat yaitu berjalan untuk mengenal Allah dari jalan yang biasa, “mulai dari bawah hingga keatas”.
            Di sisi teori yang lain Ma’rifah ta’limiyat dapat disebut juga dengan Ma’rifah orang salik. Pada mulanya salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian mengenal nama-nama-Nya, kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam Allah. Adapun penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah lain disebut asamul al-husna.
Adapun yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna adalah Allah Azza wa Jalla. Nama-nama itu disebutkan dalam Firman-Nya :
Artinya  :  “Serulah Allah atau Rahman. Mana saja nama Tuhan yang kamu seru, Dia adalah adalah mempunyai nama-nama yang baik”. (Q.S. Al-Isra’: 110)
Ma’rifat ta’limiyat secara lebih luas dapat didefinisikan sebagai proses bagaimana cara mengenali Tuhan (Ma’rifat). artinya  salik (muta’alim) memerlukan metode untuk meraih Ma’rifat baik metode yang dilakukan secara khusus misalnya menjadi murid untuk melakukan  proses perjalanan ruhani (suluk) dalam tarekat sufi secara metodik, maupun metode yang dilakukan secara umum atau tarekat yang secara langsung mengkaji dari sumber-sumber Tasawuf atau mengikuti jejak langkah yang dilakukan oleh Rasulullah, Para sahabat, Tab’iin, Atba At-Tabi’in sampai ulama sekarang yang sejalan dengan al-Quran dan Hadits.
Adapun Arifubillah Muhammad bin Ibrahiim mendefinisikan bahwa hakikat cara (suluk), ialah mengosongkan diri Dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari maksiat lahir dan dari maksiat batin) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji/mahmudah (dengan taat lahir dan batin). Tujuan dari pada suluk, bukan sekedar untuk maksud mendapat ni’mat dunia dan akhirat atau untuk memperoleh limpahan-limpahan karunia Allah,  arau mendapatkan sorotan cahaya (nur), dan lain-lain, sehingga salik (muta’alim) dapat mengetahui suratan nasib. Tetapi suluk bertujuan untuk Allah semata. Dengan jalan suluk, maka semua pelajaran-pelajaran yang dipelajari dalam Tasawuf/ Tarekat, dengan karunia-Nya salik sendiri akan mengalami keyakian dekat dengan Tuhan. Firman Allah :
فَاْسلُكِى سُبُلَ َرّبِكَ ذُللاًّ
Artinya : “Maka tempuhlah jalan Tuhan-Mu yang telah dimudahkan bagimu. Dalam menempuh jalan Tuhan (suluk) maka ahli-ahli Tasawuf/Tarekat merasa yakin akan sapai kepada Tuhan”.
Adapun fase-fase yang harus ditempuh  kerah mencapai hakikat, salik (muta’alim) dapat melakukan amal ibadat cara menuju kepada Tuhan dengan menempuh empat fase :
Fase 1. Disebut dengan murhalah amal lahir. Artinya : berkenalan melakukan amal ibadat yang dipardukan dan sunnat, sebagai mana yang dilakukan Rosulullah Saw.
Fase 2. disebut amal batin atau moraqabah (mendekatkan diri pada Allah) dengan jalan menyucikan diri dari maksiat lahir dan batin (takhalli), memerangi hawa nafsu, dibarengi dengan amal yang terpuji (mahmudah) dari taat lahir dan batin (tahalli) yang semuanya itu merupakan amal qalb (hati).
Fase 3. disebut murhalah riadhah/ melatih diri dan mujahadah/ mendorong diri. Maksud dari dari pada mujahadah yakni melakukan jihad lahir dan batin  untuk menambah kuatnya kekuasaan ruhani atas jasmani, guna membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci.
Fase 4. disebut murhalah “fana kamil” yaitu jiwa salik telah mencapai pada martabat  menyaksikan langsung yang haq dengan al-haqq (syuhudul haqqi bil haqqi). Pada fase keempat ini, sebagai puncak segala perjalanan, maka didatangkan nur yang dinamakan “nur kehadiran”[3].

2.      Ma’rifah Laduniyah
Ma’rifah laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya. Ibnu ‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifah laduniyah dengan sebutan Ma’rifah orang mahjdub. Ma’rifah orang mahjdub yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang diberikan secara langsung oleh Tuhan kepada manusia yang ada sisi kesamaannya dengan Ma’rifah Laduniyah.
            Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifah talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan. Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Dengan demikian Ma’rifah laduniyah juga dapat disebut Ma’rifah orang Mahjdzub juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.
Firman Allah dalam al-Qur’an :
اتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَاوَعَلَمْنَاهُ مِنْ لَدُنّاَعِلْمًا الكهف
Artinya : “…yang telah berikan padanya rakmat dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami” (al-Kahfi : 65).
Ma’rifah laduniyah tidak jauh bedanya dengan ‘alim Rabbani yang berbeda dengan Ilmu yang dipelajari para Ilmuwan, dalam istilah al-Ghazali disebut dengan Ilmu ta’limiyat. Namun, keduanya tetap berhubungan. Hubungan antara keduanya, menurut al-Ghazali laksana naskah asli dengan duplikatnya. Hal ini mirip dengan teori plato bahwa Ilmu yang ada di alam ide itu lebih murni dari pada ilmu yang telah digelar di alam raya, namun kedunya persis sama, seperti halnya naskah asli dengan duplikatnya atau fotokopinya. Ilmu laduniyah, ‘alim Ar-Rabani, ‘alim sejati, dan Ma’rifat orang mahjdub dapat dicapai oleh para sufi dalam keadaan penghayatan Kasyf, sedang ilmu ta’limyah hanya dapat dipelajari oleh para ilmuwan setapak demi setapak dengan susah payah.
Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan hikmahnya sebagai berikut :
اَشْهَدَكَ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَسْتَشْهَدَكَ فَنَطَقَتْ بِإِلَهِيَّتِهِ الّظَوَهِرُوَتَحَقَّقَتْ بِأَحَدِيـــَّــتِهِ الْقُلُوْبُ وَالسَّرَاِئرِ
Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia menuntut kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir mengucapkan (mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati menyatakan dengan sifat-sifat ke Easaan-Nya.
Maksud perkataan hikmah tersebut adalah “Tuhan menampakan keluhuran dan keagungan Dzat-Nya didalam hati seseorang, setelah itu Allah menunutut persaksian kepadamu mengenai  kebesaran dan keluhuran-Nya dengan melakukan dzikir dan Ibadah.  Ibadah yang dilakukan dengan anggota lahir sebagai persaksian mengenai keagungan  dan keluhuran-Nya, dan dzikir yang dilakukan dalam hati sebagai pengakuan dari sifat-sifat ke-Esaan-Nya[4].

C.    Tokoh Ma’rifat
Dalam litelatur tasawuf, dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat, yaitu al-Ghazali dan Dzannun al-Misri.
Al-Gazali
Al-Gazali mengakhiri masa pertualangannya, karena telah mendapat “pegangan” yang sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat. Pegangan itu ialah “Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah suci Mekkah dan Madinah.
Mengakhiri hidup menyendiri dan masuk kembali ke tengah masyarakat, sesudah bertahun-tahun lamanya menggali-gali kebenaran untuk dirinya sendiri, karena dia tetap beribadat dan tetap berbuat amal di mana saja dia berada, tetapi persoalannya ialah jalan mana yang benar ditempuh untuk meyakinkan kebenaran itu kepada khayalak ramai.
Sesudah mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka terbukalah pikirannya untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. Hidup pertualangan yang berjalan 10 tahun lamanya, sudah cukup membosankannya, dan timbullah pikiran yang normal untuk kembali hidup di tengah masyarakat.
Terhadap hal ini, Al-Ghazali mengatakan: “kemudian panggilan anak-anak dan cinta keluarga menarik sebagai besi berani supaya aku pulang ke tanah air. Aku bersiap-siap akan pulang sesudah bertahun-tahun aku menjauhinya karena mengutamakan hidup berkhalwat dan menyendiri untuk membersihkan jiwa mengingat Tuhan. Peristiwa-peristiwa hidup, kepentingan hidup berkeluarga dan desakan-desakan hidup telah mengubah tujuan hidupku, mengacukan pikiran berkhalwat, sehingga timbullah kegelisahan batin yang tidak membersihkan suasana hidupku lagi. Sungguhpun begitu, tidaklah putus harapanku dan segala arah yang melintang aku singkirkan ke pinggir, supaya dapat aku pulang kembali”.
Hatinya sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah mungkin dia pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah. Kebetulan datanglah panggialan yang ditunggu-tunggunya itu. Perdana Mentri Fakhrul Mulk, putera dari Nizamul Mulk almarhum, telah memintanya supaya segara pulang ke Niesabur untuk memimpin Universitas Nizamiyah yang di tanggalkannya.
Dzannun al-Misri
Adapun Dzannun al-Misri berasal dari Naubah, suatu Negeri yang terletak diantara Sudan dan Mesir. Lahir pada tahun 180H/799M dan wafat pada tahun 246H/865M. Menurut Hamka, beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan menuju Tuhan, yaitu mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang diturunkan dan takut terpalingkan dari jalan yang benar. Dalam sebuah hikayat, Dzunnun terkenal sebagai orang yang tinggi ilmu agamanya serta mustajab do’anya. Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa nama Dzunnun muncul ketika terjadi sebuah peristiwa yang menunjukkan karomah yang dimilikinya.    
Pada saat mengadakan perjalanan, Dzunnun dituduh mencuri batu berharga yang mengakibatkan dirinya disiksa. Namun merasa tidak melakukan, Dzunnun berdoa dan memohon kepada Allah tentang kebenaran. Akhirnya do’anya dikabulkan melalui ribuan ikan yang membawa batu berharga di mulutnya dan mendekati kapal kemudian menyerahkan kepada saudagar yang menuduhnya mencuri.
Dalam sejumlah kitab, Dzunnun dikabarkan sebagai orang zuhud dan berilmu tinggi. Kema’rifatannya tentang Tuhan mampu menembus batas-batas kosmik manusia biasa. Dalam sufi terdapat beberapa tingkatan ma’rifat. Yang pertama adalah tingkatan yang paling rendah yang berada pada orang awam. Tingkatan ini mengakui adanya Tuhan serta membenarkan apa yang disampaikan Rasul-Nya. Kedua tingkatan Teolog atau Filosof. Tingkatan ini mengetahui Tuhan berdasarkan pertimbangan empiris dan penciptaan, dan belum menyaksikan langsung dalam penyingkapan bathin. Tingkatan yang ketiga adalah tingkatan yang paling tinggi didalam kema’rifatan, yaitu mengetahui keberadaan, sifat dan perilaku Tuhan melalui sanubarinya. Menurut Dzunnun, kema’rifatan dapat dilihat dengan mengetahui cirri-cirinya yaitu selalu bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa bersyukur.
Dalam tingkatan ketaqwaan, Dzunnun juga menyinggung masalah khauf atau rasa takut kepada Allah serta mahabbah kepada Allah. Tuhan harus dicinyai dari segalanya. Seseorang yang mencintai khaliq akan berbuat apa saja untuk dicintainya bahkan masuk neraka sekalipun adalah lebih baik dimata Dzunnun dari pada berpisah dari sang khaliq[5].

D.    Manfaat Ma’rifat
Mengenal Allah adalah aset terbesar. Mengenal Allah akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan merasa ditatap, didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat kita tidak mengenal Allah, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak tenang dalam hidup, dan sebagainya.
Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah[6].
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya. Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
Pertama, Hidup selalu berada di jalan yang benar (on the right track).
Kedua, memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya keimanan.
Ketiga, Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah.
Keempat, seorang ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan.
Kelima, seorang ahli ibadah memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ibadah akan memiliki kemampuan untuk bertobat.
Keenam, selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut.
Ketujuh, seorang ahli ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat.
Kemampuan Manusia untuk melakukan Ma’rifat Allah menciptakan manusia dengan sempurna yaitu diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya menggunakan pemberian Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5).

KESIMPULAN

Apabila melihat dari keterangan diatas   dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf. Dijelaskan pula, bahwa tanda orang makrifah itu ada tiga:
1.            Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya.
2.             Tidak meyakini ilmu bathiniah yang dapat merusak lahiriah huku
3.            Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya dan tidak membawanya pada kebinasaan sampai merusak tabir dan hal-hal yang diharamkan oleh Allah.
Dan di jelaskan pula macamnya ma’rifat diantaranaya:
1.Ma’rifat Ya’limiyat yaitu dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu.
 2. Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya.
      Bila melihat keterangan  di atas manfaaat Ma’rifat adalah dapat mengingat Allah, bisa mengetahui keagungan Allah.



DAFTAR PUSTAKA

Abdillah. 144.Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam. Surabaya: Jawara.
Djamaluddin, Ahmad. 2002. Menelusuri Taman-taman Mahabbah Shufiyah. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf Antara Agama dan Filsafat. Bandung: Pustaka Hidayah.
Mustafa, Ahmad. 2008. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Syukur, Amin. 2004.Tasawuf Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.










[1] Djamaluddin Ahmad, Menelusuri Taman-taman Mahabbah Shufiyah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), hal. 22.
[2] Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 132.
[3] Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf , (Bandung: Pustaka Setia, 2008),  hal. 39.
[4] Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm 134.
[5] Abdillah, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara, 2004), hal. 144.
[6] Ibid;

0 komentar:

Posting Komentar