MAKALAH HUKUM PROGRESIF (Sosiologi Hukum)

Edit Posted by with No comments

HUKUM PROGRESIF










PIDANA HUKUM ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2017




KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Konsep Hukum Progresif” ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Jon Heri selaku Dosen mata kuliah Sosiologi Hukum, yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Hukum Progresif, Pengertian, Jenis,  dll. Kami juga menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
 Kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas Sosiologi Hukum dengan judul "Konsep Hukum Progresif". Disamping itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalah ini berlangsung, sehingga terealisasikan makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat dan jangan lupa ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya bisa diperbaiki.



Palembang, 19 Maret 2017


     
Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.                  Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak didasarkan atas kekuasaan. Hukum harus dijadikan panglima dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping  kepastian dan keadilan hukum juga berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia. Sehingga boleh dikatakan bahwa berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan hidup.
Namun didalam realita kehidupan masyarakat, hukum mengalami sebuah masalah krusial yang mengaburkan makna dari hukum tersebut. Hukum dijadikan alat untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu dan hukum dijadikan sebuah alat untuk melegalkan tindakan-tindakan yang menistakan nilai-nilai keadilan ditengah-tengah masyarakat. Hukum hanya dijadikan alat dan bukan tujuan.
Namun untuk mendapatkan keadilan maka pencari keadilan harus melalui prosedur-prosedur yang tidak adil. Sehingga hukum menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat, hukum bukan lagi untuk membahagiakan masyarakat tetapi malah menyengsarakan masyarakat.  
 Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum  adalah karena masih terjerembab  kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya. Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.
Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang-Undang sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.
Hukum Progresif memecahkan kebuntuan itu. Dia menuntut keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia  sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum. Apabila kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan.
Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual.

B.                   Permasalahan
1.      Bagaimana konsep hukum progresif?
2.      Bagaimana landasan konseptual hukum progresif?
3.      Bagaimana penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia?

1.       
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Hukum Progresif
Melihat realitas penggunaan hukum yang ada, maka pada tatanan penyelesaian hukum tidak dapat lagi menggunakan cara-cara yang biasa dan konvensional, tetapi membutuhkan cara berhukum yang luar biasa. Salah satu cara luar biasa yang di tawarkan oleh Prof Satjipto Rahardjo untuk menghadapi kemelut dalam dunia penegakan hukum kita adalah suatu tipe penegakan hukum progresif. Penegakan hukum progresif menekankan pada dua hal, yaitu hukum ada untuk manusia dan bukan manusia ada untuk hukum. Hukum tidak bisa bekerja sendiri, hukum membutuhkan institusi atau manusia untuk menggerakannya.
Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter),melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning)dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya dengan kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain dari pada yang biasa dilakukan. Ide penegakan hukum progresif lahir dari refleksi intelektual yang cukup panjang. Pembahasan penegakan hukum progresif di atas merupakan salah satu rekam jejak refleksi intelektual yang menjadi titik awal kenapa penegakan hukum progresif dijadikan sebagai tipe penegakan hukum alternatif. Tibalah kita pada sebuah kesimpulan bahwa “kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang“.
Hukum Progresif berarti hukum yang bersifat maju. Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Hal ini akibat dari rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Secara spesifik hukum progresif bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang berkeadilan.
Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah :
1.      Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
2.      Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3.      Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.
4.      Bersifat kritis dan fungsional.
Konsep hukum progresif yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo bila  diartikan   secara singkat dapat   diartikan  sebagai  “bagaimana”membiarkan hukum tersebut mengalir untuk menuntaskan tugasnya mengabdi pada manusia dan kemanusiaan. Adapun pokok-pokok pemikiran model hukum progresif ini dapat diuraikan sebagai berikut ini : 
1.      Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada idealnya hukum;
2.      Hukum menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak berhati nurani, melainkan suatu institusi yang bermoral;
3.      Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia;
4.      Hukum progresif adalah, “hukum pro rakyat dan pro keadilan”;
5.      Asumsi dasar hukum progresif adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. berkaitan dengan hal ini, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih besar;
6.      Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process,  law in the making);
Sebagaimana disebutkan diatas, untuk menguji kualitas dari hukum, tolak ukur yang dapat dijadikan pedoman antara lain keadilan, kesejahteraan dan keberpihakan kepada rakyat semakin jauh dari kenyataan, mengingat banyaknya persoalan hukum yang tidak terselesaikan dengan baik. Dengan demikian peran hukum lebih menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap keadilan dan kesejahteraan. Artinya keberadaan hukum sudah seharusnya mencerminkan standar baku dari apa yang baik dan tidak baik, adil dan yang tidak adil. Perihal tersebut dalam konteks ke Indonesiaan tidak boleh terlepas dari jati diri bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai bangsa yang diterima semua lapisan masyarakat, semua generasi bahkan semua budaya sehingga sangat layak dijadikan standar utama dalam kehidupan hukum berbangsa dan bernegara.[1]
B.                 Landasan Konseptual hukum progresif
Studi hubungan antara konfgurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan percerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi kelompok dominan (Penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik.
            Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching for the truth) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.
           Adalah keprihatinan Satjipti Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada orde baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran diatas adalah makin langkanya kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum, kemudia Satjipto Rahardjo mengajukan pertanyaan, apa yang salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk mengatasinya?
           Agenda besar gagasan hukum progrsif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan hukum progresif mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh karena itu, hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku penegak hukum didalam masyarakat. Disinilah arti penting pemahaman gagasan hukum progesif, bahwa konsep “hukum terbaik” mesti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang bersifat utuh (holistik) dalam memahami problem-problem kemanusiaan.
            Dengan demikian, gagasan hukum progresif tidak semata-mata hanya memahami sistem hukum pada sifat yang dogmatic, selain itu juga aspek perilaku sosial pada sifat yang empirik. Sehingga diharapkan melihat problem kemanusiaan secara utuh berorientasi keadilan substantive.
 1.    Hukum Sebagai Institusi Yang Dinamis
            Hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Anggapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut:
Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making).
Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.

 2.    Hukum Sebagai Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan
Dasar filosofi dari hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Hukum progresif  berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hal itu, maka kelahiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan didalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan kedalam skema hukum.
Pernyataan bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu menurut hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan subtantif yang harus lebih didahulukan ketimbang keadilan prosedural, hal ini semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-problem kemanusiaan.

 3.    Hukum Sebagai Aspek Peraturan dan Perilaku
          Orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku (rules and behavior). Peraturan akan membangun sistem hukum positif yang logis dan rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang telah terbangun itu. Karena asumsi yang dibangun disini, bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan masyarakatnya.
            Dengan menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti compassion (perasaan baru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment (tanggungjawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan tekad).
            Satjipto rahardjo mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan.           
Mengutamakan faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan diatas faktor peraturan, berarti  melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari aras legalistik-positivistik ke aras kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai pribadi (individu) dan makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan keadilan kepada siapapun.

 4.    Hukum Sebagai Ajaran Pembebasan
hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”.
Satjipto Rahardjo memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai berikut. Tindakan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar atmosfir korupsi di lingkungan Mahkamah Agung. Kemudian dengan berani hakim Agung Adi Andojo Sutjipto membuat putusan dengan memutus bahwa Mochtar Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar pada rezim Soeharto yang sangat otoriter. Selanjutnya, adalah putusan pengadilan tinggi yang dilakukan oleh Benyamin Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia melawan Menteri Penerangan yang berpihak pada Tempo.
Paradigma “pembebasan” yang dimaksud disini bukan berarti menjurus kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan “logika peraturan” saja. Di sinilah hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali “paradigma pembebasan” itu. Dengan begitu, paradigma hukum progresif  bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan membuat hukum progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya.[2]

C.                Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia
Dalam tradisi pemikiran legal-positivism, yang banyak dianut oleh Negara demokrasi sekarang ini, hukum dikonsepsikan sebagai produk legislasi. Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses legislasi nasional. Hukum berlaku, semata-mata karena telah ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, tanpa melihat apakah isinya memuat nilai-nilai keadilan atau tidak. Dalam sistem ini, pelaku hukum (hakim dan birokrasi), sebagaimana doktrin dalam analytical jurisprudence, hanya bertugas sebagai terompet atau corong undang-undang.
Penggunaan pemikiran legal-positivism, dalam situasi hukum perundang-undangan yang elitis, akan menyebabkan kesenjangan (ketidakadilan ekonomi) dan kemiskinan semakin meluas, sebab kemacetan demokrasi yang terjadi dibawah tekanan Neoliberalisme, akan menyebabkan hukum yang dihasilkan dari proses legislasi akan cenderung berpihak pada kepentingan elit dan mengabaikan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak.
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada masyarakat. Inilah hukum progresif, yang menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Hukum progresif ini, ditawarkan untuk mengatasi krisis di era global sekarang ini. Dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan perbaikan. Para pelaku hukum, harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat harus menjadi orientasi utama dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum. Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi pada dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Ini berbeda dengan tradisi analytical jurisprudence yang cenderung menepis dunia luar dirinya; seperti manusia, masyarakat dan kesejahteraannya.
Dalam pandangan hukum progresif, pelaku hukum harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan krusial dalam hal hubungan manusia, termasuk keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang menindas; baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks ini, hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan). Hukum progresif yang menghendaki pembebasan dari tradisi keterbelengguan, memiliki kemiripan dengan pemikiran Roscoe Pound tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Usaha social engineering, dianggap sebagai kewajiban untuk menemukan cara-cara yang paling baik untuk memajukan atau mengarahkan masyarakat. Bukti monumental tentang penggunaan hukum sebagai alat perubahan sosial, terjadi di Amerika Serikat pada 1954. Keputusan Mahkamah Agung Amerika untuk mengubah perilaku orang kulit putih Amerika, yang sebelumnya menaruh sikap prasangka pada orang-orang Negro. Untuk menghilangkan sikap tersebut, Mahkamah Agung melalui putusannya, bahwa pemisahan ras di sekolah-sekolah negeri, bertentangan dengan konstitusi Amerika.
Penerapan hukum progresif, yang pada dasarnya terarah kepada para pelaku hukum ini, diharapkan akan dapat mengarahkan hukum yang dihasilkan oleh proses legislasi, yang cenderung elitis, untuk mengarah pada kepentingan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak. Pintu masuk bagi penerapan hukum progresif dalam praktik pengadilan di Indoensia, secara formal telah diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dalam rangka itu, hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini berarti bahwa hakim tidak sekedar bertugas menerapkan peraturan dengan apa adanya, tetapi bagaimana penerapan itu dapat mewujudkan keadilan. Di sini kreativitas hakim menjadi sangat menentukan.
Dalam pelaksanaan kontrak, menunjukkan bahwa pengadilan di Indonesia pada awalnya sangat mengedepankan asas facta sunt servanda dari pada asas iktikad baik. Mengedepankan asas facta sunt servanda, berarti mengedepankan isi perjanjian sesuai dengan apa yang secara formal sudah disepakati oleh para pihak secara sah, dan itulah yang oleh pengadilan diberlakukan sebagai undang-undang bagi para pihak. Ini merupakan gambaran dari cara berpikir yang legal-positivism, yang hanya memaknai aturan (dalam hal ini perjanjian) secara formal tekstual, yang mengabaikan keadilan. Namun belakangan, sikap pengadilan Indonesia ternyata bergeser ke arah yang lebih mengedepankan iktikad baik.
Dengan demikian tradisi berpikir yang progresif ini perlu terus didorong, agar benar-benar menjadi budaya hukum dikalangan para penegak hukum terutama para hakim. Apabila para hakim, sudah tidak lagi terbelenggu dengan tradisi berpikir legal-positivism, maka tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, akan menjadi lebih memungkinkan, sekalipun hukum perundang-undangan yang dihasilkan dalam proses legislasi cenderung elitis.[3]




BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Penggunaan penafsiran sebagai pengaruh perkembangan masyarakat pada dasarnya membuka peluang bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum secara progresif. Penemuan hukum secara progresif tidak terlepas dari keinginan hati nuranih untuk menegakkan keadilan dengan berpijak pada nilai-nilai hukum di masyarakat. Paradigm yang menempatkan hakim sebagi terompet atau corong undang-undang sangat tidak benar. Secara khusus ditegaskan dalam UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan menekankan tugas hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Penerapan hukum progresif, mengarahkan hukum yang dihasilkan oleh proses legislasi, yang cenderung elitis, untuk mengarah pada kepentingan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak. Pintu masuk bagi penerapan hukum progresif dalam praktik pengadilan di Indoensia, secara formal telah diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan. Praktik pengadilan di Indonesia, menunjukkan mulai berkembangnya cara-cara penerapan hukum yang progresif, namun tradisi legal-positivism masih menjadi mainstream para hakim.



DAFTAR PUSTAKA
Hartono. 2010. Penyidikan dan Penegakan hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Rifai, Ahmad. 2001.  Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta:Sinar Grafika.



[1] Hartono, Penyidikan dan Penegakan hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 10.
[2] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.19.
[3]  Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta, Genta Publishing, 2009), hlm. 2.


Makalah Ma’rifah (AKHLAK TASAWUF)

Edit Posted by with No comments

BAB I
PENDAHULUAN

A.                  Latar Belakang Masalah
Dalam Islam kita semua diwajibkan mengenal siapa yang kita sembah, agar kita ikhlas dan senang mengerjakan semua perintah yang diberikan-Nya kepada kita. Kita sering mendengar ungkapan yang tidak asing lagi ditelinga kita yaitu: اَوَّلُ الدِّيْنِ مَعْرِفَةُ اللهِ yang pertama agama itu mengenal Allah.
Sedangkan Ma’rifah ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifah” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup zuhud, ibadah dan barulah tercapai ma’rifah.  
Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Mahabbah dan Ma’rifah beserta tujuan, kedudukan, paham, tokoh sufi,serta mahabah dan ma’rifah dalam pandangan al-Qur’an dan al hadits, Maka jika ada kesalahan yang sekiranya di luar kesadaran, kami siap menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian.

B.                   Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dan tanda ma’rifah?
2.      Sebutkan  macam macam ma’rifah?
3.      Siapakah tokoh yang mengembangkan Ma’rifah?
4.      Jelaskan manfaat dari ma’rifah ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Tanda Ma’rifah
Dari segi bahasa, ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, yaitu ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah yang artinya mengetahui atau pengalaman. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain:
a.         Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama’ Tasawuf yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ جَزْمُ قَلْبِ بِوُجُوْدِالْوَاجِبِ الْمَوْجُوْدِ مُتّصِفاً بِساَئِرِالْكَلِماَتِ
Artinya:
Ma’rifah adalah  ketepatan  hati (dalam memercayai hadirnya)wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaan.”

b.        Asy-Syekh Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْعِ الْحَقِّ، وَهُوَالْقَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الْاَنْوَارِ
Artinya:
“Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi).... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”

c.    Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
اْلْمَعْرِفَةُ يُوْجِبُ السّكِينَةَ فيِ الْقَلْبِ كَماَ اَنَّ الْعِلْمَ يُوْجِبُ السّكُوْنَ، فَمَنِ ازْدَادَتْ مَعْرِفَتُهُ اِزْدَادَتْ سَكِيْنَتُهُ
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).
Tidak semua orang yang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain:
a.    Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan prilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b.    Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, kerena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c.    Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram[1].
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehiduoan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT. Sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa Ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
a.       Imam Rawin mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan ia berada di muka cermin, bila ia memandanginya, pasti ia melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhannya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam Tuhannya. Maka tidak lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT., saja.
b.    Al-Junaid Al-Baghdadiy mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan sifat air gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Sufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhannya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendaknya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Sufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus, meskipun hanya sekejap mata saja.
c.       Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifah itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan dengan Tuhannya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari syariat, Tarikat, Hakikat, dan Ma’rifah. Tidak mungkin dapat ditempuh secra terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan[2].

B.     Macam Macam Ma’rifat
Secara garis besar dapat diambil sebuah kejelasannya, bahwa Ma’rifat dapat dibagi kedalam dua kategori : pertama, Ma’rifah Ta’limiyat, dan kedua Ma’rifah Laduniah.
1.    Ma’rifah  Ta’limiyat
Ma’rifah Ya’limiyat merupakan istilah lain Ma’rifah yang di lontarkan oleh al-Ghazali, dapat di depinisikan sebagai Ma’rifah yang dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu. ta’limiyat berasal dari kata ta’lama, yuta’limu, ta’liman-ta’limiyatan yang berarti mencari pengetahuan atau dalam arti lain memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang yang sedang mencari ilmu disebut muta’alim. Oleh karena itu Ma’rifah ta’limiyat yaitu berjalan untuk mengenal Allah dari jalan yang biasa, “mulai dari bawah hingga keatas”.
            Di sisi teori yang lain Ma’rifah ta’limiyat dapat disebut juga dengan Ma’rifah orang salik. Pada mulanya salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian mengenal nama-nama-Nya, kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam Allah. Adapun penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah lain disebut asamul al-husna.
Adapun yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna adalah Allah Azza wa Jalla. Nama-nama itu disebutkan dalam Firman-Nya :
Artinya  :  “Serulah Allah atau Rahman. Mana saja nama Tuhan yang kamu seru, Dia adalah adalah mempunyai nama-nama yang baik”. (Q.S. Al-Isra’: 110)
Ma’rifat ta’limiyat secara lebih luas dapat didefinisikan sebagai proses bagaimana cara mengenali Tuhan (Ma’rifat). artinya  salik (muta’alim) memerlukan metode untuk meraih Ma’rifat baik metode yang dilakukan secara khusus misalnya menjadi murid untuk melakukan  proses perjalanan ruhani (suluk) dalam tarekat sufi secara metodik, maupun metode yang dilakukan secara umum atau tarekat yang secara langsung mengkaji dari sumber-sumber Tasawuf atau mengikuti jejak langkah yang dilakukan oleh Rasulullah, Para sahabat, Tab’iin, Atba At-Tabi’in sampai ulama sekarang yang sejalan dengan al-Quran dan Hadits.
Adapun Arifubillah Muhammad bin Ibrahiim mendefinisikan bahwa hakikat cara (suluk), ialah mengosongkan diri Dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari maksiat lahir dan dari maksiat batin) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji/mahmudah (dengan taat lahir dan batin). Tujuan dari pada suluk, bukan sekedar untuk maksud mendapat ni’mat dunia dan akhirat atau untuk memperoleh limpahan-limpahan karunia Allah,  arau mendapatkan sorotan cahaya (nur), dan lain-lain, sehingga salik (muta’alim) dapat mengetahui suratan nasib. Tetapi suluk bertujuan untuk Allah semata. Dengan jalan suluk, maka semua pelajaran-pelajaran yang dipelajari dalam Tasawuf/ Tarekat, dengan karunia-Nya salik sendiri akan mengalami keyakian dekat dengan Tuhan. Firman Allah :
فَاْسلُكِى سُبُلَ َرّبِكَ ذُللاًّ
Artinya : “Maka tempuhlah jalan Tuhan-Mu yang telah dimudahkan bagimu. Dalam menempuh jalan Tuhan (suluk) maka ahli-ahli Tasawuf/Tarekat merasa yakin akan sapai kepada Tuhan”.
Adapun fase-fase yang harus ditempuh  kerah mencapai hakikat, salik (muta’alim) dapat melakukan amal ibadat cara menuju kepada Tuhan dengan menempuh empat fase :
Fase 1. Disebut dengan murhalah amal lahir. Artinya : berkenalan melakukan amal ibadat yang dipardukan dan sunnat, sebagai mana yang dilakukan Rosulullah Saw.
Fase 2. disebut amal batin atau moraqabah (mendekatkan diri pada Allah) dengan jalan menyucikan diri dari maksiat lahir dan batin (takhalli), memerangi hawa nafsu, dibarengi dengan amal yang terpuji (mahmudah) dari taat lahir dan batin (tahalli) yang semuanya itu merupakan amal qalb (hati).
Fase 3. disebut murhalah riadhah/ melatih diri dan mujahadah/ mendorong diri. Maksud dari dari pada mujahadah yakni melakukan jihad lahir dan batin  untuk menambah kuatnya kekuasaan ruhani atas jasmani, guna membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci.
Fase 4. disebut murhalah “fana kamil” yaitu jiwa salik telah mencapai pada martabat  menyaksikan langsung yang haq dengan al-haqq (syuhudul haqqi bil haqqi). Pada fase keempat ini, sebagai puncak segala perjalanan, maka didatangkan nur yang dinamakan “nur kehadiran”[3].

2.      Ma’rifah Laduniyah
Ma’rifah laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya. Ibnu ‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifah laduniyah dengan sebutan Ma’rifah orang mahjdub. Ma’rifah orang mahjdub yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang diberikan secara langsung oleh Tuhan kepada manusia yang ada sisi kesamaannya dengan Ma’rifah Laduniyah.
            Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifah talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan. Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Dengan demikian Ma’rifah laduniyah juga dapat disebut Ma’rifah orang Mahjdzub juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.
Firman Allah dalam al-Qur’an :
اتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَاوَعَلَمْنَاهُ مِنْ لَدُنّاَعِلْمًا الكهف
Artinya : “…yang telah berikan padanya rakmat dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami” (al-Kahfi : 65).
Ma’rifah laduniyah tidak jauh bedanya dengan ‘alim Rabbani yang berbeda dengan Ilmu yang dipelajari para Ilmuwan, dalam istilah al-Ghazali disebut dengan Ilmu ta’limiyat. Namun, keduanya tetap berhubungan. Hubungan antara keduanya, menurut al-Ghazali laksana naskah asli dengan duplikatnya. Hal ini mirip dengan teori plato bahwa Ilmu yang ada di alam ide itu lebih murni dari pada ilmu yang telah digelar di alam raya, namun kedunya persis sama, seperti halnya naskah asli dengan duplikatnya atau fotokopinya. Ilmu laduniyah, ‘alim Ar-Rabani, ‘alim sejati, dan Ma’rifat orang mahjdub dapat dicapai oleh para sufi dalam keadaan penghayatan Kasyf, sedang ilmu ta’limyah hanya dapat dipelajari oleh para ilmuwan setapak demi setapak dengan susah payah.
Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan hikmahnya sebagai berikut :
اَشْهَدَكَ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَسْتَشْهَدَكَ فَنَطَقَتْ بِإِلَهِيَّتِهِ الّظَوَهِرُوَتَحَقَّقَتْ بِأَحَدِيـــَّــتِهِ الْقُلُوْبُ وَالسَّرَاِئرِ
Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia menuntut kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir mengucapkan (mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati menyatakan dengan sifat-sifat ke Easaan-Nya.
Maksud perkataan hikmah tersebut adalah “Tuhan menampakan keluhuran dan keagungan Dzat-Nya didalam hati seseorang, setelah itu Allah menunutut persaksian kepadamu mengenai  kebesaran dan keluhuran-Nya dengan melakukan dzikir dan Ibadah.  Ibadah yang dilakukan dengan anggota lahir sebagai persaksian mengenai keagungan  dan keluhuran-Nya, dan dzikir yang dilakukan dalam hati sebagai pengakuan dari sifat-sifat ke-Esaan-Nya[4].

C.    Tokoh Ma’rifat
Dalam litelatur tasawuf, dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat, yaitu al-Ghazali dan Dzannun al-Misri.
Al-Gazali
Al-Gazali mengakhiri masa pertualangannya, karena telah mendapat “pegangan” yang sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat. Pegangan itu ialah “Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah suci Mekkah dan Madinah.
Mengakhiri hidup menyendiri dan masuk kembali ke tengah masyarakat, sesudah bertahun-tahun lamanya menggali-gali kebenaran untuk dirinya sendiri, karena dia tetap beribadat dan tetap berbuat amal di mana saja dia berada, tetapi persoalannya ialah jalan mana yang benar ditempuh untuk meyakinkan kebenaran itu kepada khayalak ramai.
Sesudah mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka terbukalah pikirannya untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. Hidup pertualangan yang berjalan 10 tahun lamanya, sudah cukup membosankannya, dan timbullah pikiran yang normal untuk kembali hidup di tengah masyarakat.
Terhadap hal ini, Al-Ghazali mengatakan: “kemudian panggilan anak-anak dan cinta keluarga menarik sebagai besi berani supaya aku pulang ke tanah air. Aku bersiap-siap akan pulang sesudah bertahun-tahun aku menjauhinya karena mengutamakan hidup berkhalwat dan menyendiri untuk membersihkan jiwa mengingat Tuhan. Peristiwa-peristiwa hidup, kepentingan hidup berkeluarga dan desakan-desakan hidup telah mengubah tujuan hidupku, mengacukan pikiran berkhalwat, sehingga timbullah kegelisahan batin yang tidak membersihkan suasana hidupku lagi. Sungguhpun begitu, tidaklah putus harapanku dan segala arah yang melintang aku singkirkan ke pinggir, supaya dapat aku pulang kembali”.
Hatinya sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah mungkin dia pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah. Kebetulan datanglah panggialan yang ditunggu-tunggunya itu. Perdana Mentri Fakhrul Mulk, putera dari Nizamul Mulk almarhum, telah memintanya supaya segara pulang ke Niesabur untuk memimpin Universitas Nizamiyah yang di tanggalkannya.
Dzannun al-Misri
Adapun Dzannun al-Misri berasal dari Naubah, suatu Negeri yang terletak diantara Sudan dan Mesir. Lahir pada tahun 180H/799M dan wafat pada tahun 246H/865M. Menurut Hamka, beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan menuju Tuhan, yaitu mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang diturunkan dan takut terpalingkan dari jalan yang benar. Dalam sebuah hikayat, Dzunnun terkenal sebagai orang yang tinggi ilmu agamanya serta mustajab do’anya. Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa nama Dzunnun muncul ketika terjadi sebuah peristiwa yang menunjukkan karomah yang dimilikinya.    
Pada saat mengadakan perjalanan, Dzunnun dituduh mencuri batu berharga yang mengakibatkan dirinya disiksa. Namun merasa tidak melakukan, Dzunnun berdoa dan memohon kepada Allah tentang kebenaran. Akhirnya do’anya dikabulkan melalui ribuan ikan yang membawa batu berharga di mulutnya dan mendekati kapal kemudian menyerahkan kepada saudagar yang menuduhnya mencuri.
Dalam sejumlah kitab, Dzunnun dikabarkan sebagai orang zuhud dan berilmu tinggi. Kema’rifatannya tentang Tuhan mampu menembus batas-batas kosmik manusia biasa. Dalam sufi terdapat beberapa tingkatan ma’rifat. Yang pertama adalah tingkatan yang paling rendah yang berada pada orang awam. Tingkatan ini mengakui adanya Tuhan serta membenarkan apa yang disampaikan Rasul-Nya. Kedua tingkatan Teolog atau Filosof. Tingkatan ini mengetahui Tuhan berdasarkan pertimbangan empiris dan penciptaan, dan belum menyaksikan langsung dalam penyingkapan bathin. Tingkatan yang ketiga adalah tingkatan yang paling tinggi didalam kema’rifatan, yaitu mengetahui keberadaan, sifat dan perilaku Tuhan melalui sanubarinya. Menurut Dzunnun, kema’rifatan dapat dilihat dengan mengetahui cirri-cirinya yaitu selalu bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa bersyukur.
Dalam tingkatan ketaqwaan, Dzunnun juga menyinggung masalah khauf atau rasa takut kepada Allah serta mahabbah kepada Allah. Tuhan harus dicinyai dari segalanya. Seseorang yang mencintai khaliq akan berbuat apa saja untuk dicintainya bahkan masuk neraka sekalipun adalah lebih baik dimata Dzunnun dari pada berpisah dari sang khaliq[5].

D.    Manfaat Ma’rifat
Mengenal Allah adalah aset terbesar. Mengenal Allah akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan merasa ditatap, didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat kita tidak mengenal Allah, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak tenang dalam hidup, dan sebagainya.
Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah[6].
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya. Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
Pertama, Hidup selalu berada di jalan yang benar (on the right track).
Kedua, memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya keimanan.
Ketiga, Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah.
Keempat, seorang ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan.
Kelima, seorang ahli ibadah memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ibadah akan memiliki kemampuan untuk bertobat.
Keenam, selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut.
Ketujuh, seorang ahli ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat.
Kemampuan Manusia untuk melakukan Ma’rifat Allah menciptakan manusia dengan sempurna yaitu diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya menggunakan pemberian Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5).

KESIMPULAN

Apabila melihat dari keterangan diatas   dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf. Dijelaskan pula, bahwa tanda orang makrifah itu ada tiga:
1.            Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya.
2.             Tidak meyakini ilmu bathiniah yang dapat merusak lahiriah huku
3.            Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya dan tidak membawanya pada kebinasaan sampai merusak tabir dan hal-hal yang diharamkan oleh Allah.
Dan di jelaskan pula macamnya ma’rifat diantaranaya:
1.Ma’rifat Ya’limiyat yaitu dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu.
 2. Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya.
      Bila melihat keterangan  di atas manfaaat Ma’rifat adalah dapat mengingat Allah, bisa mengetahui keagungan Allah.



DAFTAR PUSTAKA

Abdillah. 144.Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam. Surabaya: Jawara.
Djamaluddin, Ahmad. 2002. Menelusuri Taman-taman Mahabbah Shufiyah. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf Antara Agama dan Filsafat. Bandung: Pustaka Hidayah.
Mustafa, Ahmad. 2008. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Syukur, Amin. 2004.Tasawuf Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.










[1] Djamaluddin Ahmad, Menelusuri Taman-taman Mahabbah Shufiyah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), hal. 22.
[2] Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 132.
[3] Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf , (Bandung: Pustaka Setia, 2008),  hal. 39.
[4] Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm 134.
[5] Abdillah, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara, 2004), hal. 144.
[6] Ibid;