Contoh Artikel
BANTUAN HUKUM PROFESIONAL BAGI MASYARAKAT MISKIN
Mahkamah
Konstitusi pada 13 Desember 2004 telah memutuskan batal dan tidak berlakunya
pasal 31 Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat (UUA). Pasal 31 yang
dibatalkan itu selengkapnya berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja
menjalankan pekerjaan profesi advokat, tetapi bukan advokat, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.-“ (Hukum Online, 13 Desember 2004)
Menutup Akses Keadilan?
Dalam pertimbangan hukumnya sebagaimana dikutip Hukum
Online edisi 13 Desember 2004– enam dari sembilan hakim konstitusi berpendapat
bahwa mengacu pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka hak untuk mendapatkan
bantuan hukum merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sehingga hak itu harus
dipandang sebagai hak konstitusional setiap warga negara, dan negara wajib
memenuhinya. Dalam konteks itu peranan LBH kampus menjadi penting bagi pencari
keadilan. Terutama bagi mereka yang tergolong kurang mampu untuk memanfaatkan
jasa advokat profesional. Keberadaan LBH kampus juga merupakan implementasi Tri
Dharma perguruan tinggi.
Menurut pendapat Mahkamah Konstitusi (MK), adanya
ancaman pidana pada pasal 31 UUA bisa mengakibatkan peran LBH kampus tidak
mungkin lagi dilaksanakan. Bukan hanya itu, pasal 31 juga dapat mengancam
setiap orang yang hanya bermaksud memberi penjelasan mengenai suatu persoalan
hukum meskipun ia bukan advokat. Sebab, pengertian advokat (pasal 1 ayat 1 UUA)
adalah “orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan”.
Pada bagian lain pertimbangannya, MK menyatakan bahwa
keberadaan pasal 31 jo. pasal 1 ayat (1) UUA telah membatasi kebebasan
seseorang untuk memperoleh sumber informasi hanya pada seorang advokat. Jika
orang di luar profesi advokat memberi konsultasi hukum, maka ia terancam pidana
lima tahun penjara atau denda Rp50 juta. Padahal berdasarkan pasal 28F UUD 1945
setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak mencari dan memperoleh informasi
dari segala saluran yang ada. Seseorang yang memerlukan jasa hukum di luar
pengadilan pada hakekatnya adalah ingin memperoleh informasi hukum yang dijamin
UUD 1945. Adalah hak setiap orang untuk mendapatkan informasi hukum dari sumber
yang layak dipercaya.
Prinsipnya kita sepakat bahwa memperoleh bantuan hukum adalah salah satu hak asasi manusia. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah apakah bantuan hukum hanya dapat diperoleh dari Lembaga Bantuan Hukum apalagi hanya oleh LBH kampus? Kenapa bantuan hukum untuk masyarakat tidak mampu lebih banyak diberikan oleh lembaga bantuan hukum yang sebagian personilnya bukanlah orang yang berprofesi sebagai advokat? Kenapa Negara tidak menyediakan Advokat yang handal untuk memenuhi hak-hak rakyat untuk memperoleh bantuan hukum?
Prinsipnya kita sepakat bahwa memperoleh bantuan hukum adalah salah satu hak asasi manusia. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah apakah bantuan hukum hanya dapat diperoleh dari Lembaga Bantuan Hukum apalagi hanya oleh LBH kampus? Kenapa bantuan hukum untuk masyarakat tidak mampu lebih banyak diberikan oleh lembaga bantuan hukum yang sebagian personilnya bukanlah orang yang berprofesi sebagai advokat? Kenapa Negara tidak menyediakan Advokat yang handal untuk memenuhi hak-hak rakyat untuk memperoleh bantuan hukum?
Mungkin benar, pasal 31 berpotensi melahirkan
penafsiran yang lebih luas dalam praktek pemberian jasa hukum. Tetapi menurut
saya yang lebih tepat adalah bahwa pasal 31 berpotensi melahirkan penafsiran
yang kaku dalam praktek pemberian jasa hukum. Penafsiran kakunya adalah bahwa
setiap jasa hukum hanya dapat diperoleh dari seorang yang berprofesi sebagai
advokat. Padahal untuk memberikan nasehat, konsultasi terhadap sebuah
permasalahan hukum serta memberikan bantuan hukum dalam hal-hal tertentu
seperti membuat surat gugatan, membuat surat perjanjian dan lain-lain dapat
diperoleh dari setiap orang yang memahami hal tersebut. Prinsipnya, setiap
orang yang telah menempuh jenjang pendidikan hukum (sarjana hukum) atau orang
yang telah berpengalaman dalam hal tersebut dapat dimintai bantuan. Dalam hal
ini berlaku asas konsensual, tergantung pada kesepakatan dan kepercayaan kedua
belah pihak. Sepanjang orang yang dimintai bantuan diyakini memiliki
pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan oleh pihak
yang membutuhkan dan tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku
maka asas kebebasan berkontrak berlaku dalam hal ini.
Menurut saya sepanjang orang yang dimintai bantuan
yang profesinya memang bukan advokat tidak mengaku-ngaku sebagai advokat maka
dia tidak dapat dikenai pasal 31 UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat. Praktek
yang berkembang selama ini banyak Organisasi Non Pemerintah (Ornop) termasuk
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) khususnya yang bernaung dalam Yayasan LBH Indonesia
melakukan pendampingan dan pelayanan bantuan hukum baik di dalam maupun di luar
pengadilan bagi golongan masyarakat tidak mampu. Serta banyak para aktivis
pendamping tersebut bukanlah berstatus Pengacara/Advokat, tetapi mereka
memberikan pelayanan dan bantuan hukum bagi masyarakat dampingan mereka,
khususnya di luar pengadilan. Bila kita hubungkan dengan ketentuan yang lebih
tinggi maka sesungguhnya hal ini sesuai dengan pasal 28F UUD 1945.
Jadi pasal 31 UUA bukanlah bertentangan dengan pasal
28F UUD 1945, pasal 31 UUA lebih menggariskan agar praktek pemberian
bantuan/jasa hukum diberikan secara profesional oleh mereka yang benar-benar
memiliki kapasitas pengetahuan dan ketrampilan hukum yang memadai serta
berlangsung dengan kesepakatan dan kesadaran penuh dan dilandasi oleh
kepercayaan kedua belah pihak.
Bantuan
Hukum Profesional untuk Masyarakat Miskin Sesungguhnya pasal 31 UUA dan pasal
28F UUD berada dalam konteks yang berbeda, tetapi bukan berarti bertentangan.
Pasal 31 UUA lebih dilandasi tujuan filosofis perlindungan profesi advokat
sekaligus perlindungan hak masyarakat untuk mendapat jasa dan bantuan hukum
dari mereka yang benar-benar profesional di bidangnya. Secara formal orang yang
telah diangkat sebagai Advokat telah melalui proses pengujian pengetahuan dan
keterampilan yang menunjukkan bahwa mereka memiliki kapasitas yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk memberikan jasa hukum. Dan selayaknya hak asasi kelompok masyarakat
miskin jangan hanya sekedar dibebankan kepada LBH-LBH Kampus atau LBH lain yang
belum tentu mampu menyediakan advokat dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Seharusnya dengan pasal tersebut pemerintah mulai berpikir untuk
menyediakan tenaga advokat bagi masyarakat miskin, atau paling tidak
mengupayakan bagaimana agar tenaga hukum yang bergabung di semua LBH diperkuat
posisinya untuk menjadi advokat sebagaimana dimaksud UUA.
Dengan
mencabut pasal 31 UUA saya kuatir, Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung
memperkuat pemahaman penyelenggara negara yang salah selama ini yang cenderung
tidak betul-betul bertanggungjawab memberikan bantuan hukum kepada masyarakat
miskin secara profesional. Tetapi justru melimpahkan tanggungjawab tersebut
kepada inisiatif masyarakat sendiri maupun perguruan tinggi melalui pembentukan
LBH-LBH. Sesungguhnya dengan pasal 31 tersebut Negara harus meningkatkan
perannya memberikan bantuan dan pelayanan hukum secara profesional kepada
masyarakat miskin bukan malah mempertahankan kondisi minimal yang berlangsung
sekarang yang hanya dilakukan oleh LBH-LBH bentukan masyarakat sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar