MAKALAH GADAI (Rahn)

Edit Posted by with No comments


MAKALAH GADAI (Rahn)



السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

bagi temen temen yang sedang browsing di internet sekedar baca, atau ada tugas mampir ya ke blog ku. Semoga bermanfaat ^-^

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Gadai” ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Fatah hidayat selaku Dosen mata kuliah Fiqh Muamalah, yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Gadai, Pengertian, Jenis, Rukun, Hukumnya, dll. Kami juga menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
 Kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas Fiqh Muamalah dengan judul "Gadai". Disamping itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalah ini berlangsung, sehingga terealisasikan lah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat dan jangan lupa ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya bisa diperbaiki.



Palembang, 19 Maret 2017


     

             Kelompok 10



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 
DAFTAR ISI 
BAB I  Pendahuluan 
A.    Latar Belakang 
B.     Rumusan Masalah 
BAB II PEMBAHASAN 
A.  Pengertian Gadai 
B.   Jenis Gadai 
C.   Hukum Gadai 
D.  Rukun dan Syarat Gadai 
E.   Sifat Gadai 
F.    Pengambilan manfaat Gadai 
BAB III PENUTUP 
G.  Kesimpulan 
H.  Daftar Pustaka 








BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai / rahn(الرهن). Para ulama’ berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui hukum dasar gadai tersebut.   
Dalam  syari’at            bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk   mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya[1].Dalam kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah penggadaian tidak terlepas dari masalah perekonomian. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pnggadaian dijelaskan sebagai berikut .Selain daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan syari’at gadai.
Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape, video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai. Adapun pengertian hukum dan syaratnya akan dibahas dalam makalah ini.



B.        Permasalahan
1. Pengertian Gadai / Rahn
2. Jenis jenis
3. Hukum Gadai
4. Rukun dan Syarat
5. Sifat
6. Pengambilan Manfaat




BAB II
PEMBAHASAN
A.                Pengertian Rahn
Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung atau terjerat.
            Menurut istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1.   Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin    diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.
2.      Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
3.      Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.
4.      Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[2]
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa ar rahn adalah menjadikan barang berharga sebagai jaminan hutang. Sebenarnya pemberian hutang itu merupakan suatu tindakan kebajikan untuk menolong orang yang dalam keadaan terpaksa dan tidak mempunyai uang dalam keadaan kontan. Namun demi ketenangan hati, pemberi hutang memberikan suatu jaminan, bahwa utang iu akan dibayar oleh yang berhutang.[3]

B. Jenis jenis Gadai
Dalam prinsip syariah, gadai dikenal dengan istilah RAHN. Rahn yang diatur menurut Prinsip Syariah, dibedakan atas 2 macam, yaitu:

  1. Rahn ‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)
Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai.
  1. Rahn Hiyazi
Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum positif.  Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun dikuasai oleh Kreditur.[4]


C. Hukum Gadai
            Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan (brog) adalah firman Allah, sebagai berikut:
Al Qur’an
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ …. (البقرة : ۲۸۳)
Apabila kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secar tunai, sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis hendaklah ada barang yang di pegang” (Q.S. 2: 283)
Hukum rahn secara umum terbagi dua yaitu:
1.      Hukum Gadai (rahn) yang Shahih,
2.      Hukum Gadai (rahn) yang Ghair shahih.

Gadai (rahn) yang Shahih adalah akad gadai yang syarat-syaratnya terpenuhi. Sedangkan gadai (rahn) ghair shahih adalah akad gadai yang syarat-syaratnya tidak tepenuhi.[5] Dikalangan Hanafiah, Ghair shahih itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Batil,
b.      Fasid.

Sedangkan menurut selain Hanafiah, akad ghair shahih itu hanya satu macam, yaitu batil atau fasid. Baik batil maupun fasid keduanya memiliki arti yang sama, yaitu setiap akad yang syarat syaratn akad yang shahih tidak terpenuhi.
C. Rukun dan Syarat Gadai
            Dalam melaksanakan suatu  perikatan terdapat rukun dan syarat gadai yang harus dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus dipindahkan dan dilakukan.
Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda memiliki beberapa rukun, antara lain:
1.    Akad dan ijab Kabul
2.    Aqid, yaitu yang menggadaikan  dan yang menerima gadai.
3.    Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.

Syarat Rahn antara lain :
1.    Rahin dan murtahin
Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam yaitu berakal dan baligh.


2.    Sighat
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
3.    Marhun bih (utang)
Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan utang yang tetap, dengan kata lain utang tersebut bukan merupakan utang yang bertambah-tambah atau utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya utang tersebut merupakan utang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam.[6]
D. Sifat
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahn) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang di berikan murtaqin kepada rahn adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikannya.
Rhan juga termasuk juga akad yang ainiyah yaitu dikatakan sempurna sesuadah menyerahkan benda yang dijadikan akad, sperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al qabdu).
E. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasul bersabda:
“Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanyaJika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
Rasul bersabda:
“ Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.[7]
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang di bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.




BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung atau terjerat.
Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi di perbolehkannya gadai yang bersal dari Al-Qur’an dan hadis.
Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di jadikan jaminan (borg). Syarat gadai Orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad, barang yang dapat dijadikan jaminan.



DAFTAR PUSTAKA
Abul Rahman Ghazaly, dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. BANK SYARIAH: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Muslich, Ahmad Wardi. 2015. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Mardani. 2014. Hukum Bisnis Syari’ah. Jakarta. Kencana
Haroen, Nasrun. 2000.  Fiqh Muamalah. Jakarta. Gaya media Pratama.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.



[1] Wahbah al-juhaili, al-fiqh al-islami wa adilatuhu (damaskus:Dar al-fiqr al mua’sshin,2005), jilid VI, cet.ke-8, hlm..4207.
[2] Abdul Rahman Ghazaly, fiqh muamalat (Jakarta: Kencan, 2010), hlm. 265.
[3] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya media Pratama, 2000), hlm. 252.
[4] Mardani, Hukum Bisnis Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 202.
[5]  Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Dari teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 128.
[6]  Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 105.
[7] Sholikhul Hadi, Pengadaian Syari’ah, (Jakarta: Salembadiniyah, 2003), hlm. 54.


0 komentar:

Posting Komentar