TUGAS FILSAFAT HUKUM ISLAM

Edit Posted by with No comments




Soal:

1.      Buatlah analisa hukum islam (Jinayah). Kemudian padukan dengan hukum nasional Indonesia?
2.      Carilah gambar/lambang hukum. Kemudian tulislah hasil analisis anda dari gambar atau lambang tersebut?
3.      Tuliskan ayat yang mutasyabihat (ayat) yang perlu penafsiran dan penjelasan, dan telah ditafsirkan dan di perjelas lalu cocokan dengan hukum nasional Indonesia (perdata)?
Jawab:
1.      Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau jarimah. Jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya. Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang.
Selain itu, terdapat fuqoha’ yang membatasi istilah Jinayah kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah Jinayah adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Dengan kata lain Jinayah atau jarimah adalah tindak pidana dalam ajaran Islam, yaitu bentuk-bentuk perbuatan jahat yang berkaitan dengan jiwa manusia atau anggota tubuh (pembunuhan dan perlukaan).
Dalam mengatur masalah pidana, Islam menempuh dua macam cara, yaitu:                        
1.      menetapkan hukuman berdasarkan Nash;
Islam tidak memberikan kesempatan kepada penguasa untuk menetapkan hukuman yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Hukuman dalam kelompok pertama ini tidak berubah, dan inilah yang membedakan HPI dengan hukum pidana yang berlaku sekarang di berbagai negara. Tindak pidana yang termasuk dalam kelompok ini ada 8 macam, yaitu: tindak pidana zina, qadzaf (menuduh zina), pencurian, perampokan, minum-minuman keras, riddah (keluar dari Islam), pemberontakan, dan pembunuhan-penganiayaan. Ketujuh macam tindak pidana (kecuali pembunuhan-penganiayaan) merupakan jarimah hudud yang hukumannya merupakan hak Allah dan hak masyarakat. Sedangkan tindak pidana pembunuhan-penganiayaan merupakan jarimah qisas yang hukumannya merupakan hak individu.
2.      menyerahkan penetapannya kepada penguasa (ulil amri).
Islam memberikan kesempatan yang luas kepada penguasa untuk menetapkan macam-macam tindak pidana dan hukumannya. Al-Qur’an dan as-Sunnah hanya memberikan ketentuan umum yang penjabarannya diserahkan kepada penguasa. Ketentuan umum tersebut adalah bahwa setiap perbuatan yang merugikan, baik terhadap individu maupun masyarakat, merupakan tindak pidana yang harus dikenakan hukuman. Tindak pidana ini termasuk dalam jarimah ta’zir yang hukumannya disebut dengan hukuman ta’zir.
Kesamaan HPI dan Hukum Positif dalam menetapkan tindak pidana dan hukumannya, yaitu dari segi tujuannya. Kedua sistem hukum tersebut sama-sama bertujuan memelihara kepentingan dan ketentraman masyarakat serta menjamin kelangsungan hidupnya. Meski demikian ada perbedaan yang jauh antara keduanya, karena memang watak dan tabiat keduanya jauh berbeda. Perbedaannya:
a)      Hukum Islam sangat memperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur karena akhlak yang luhur merupakan sendi atau tiang untuk menegakkan masyarakat. Oleh karenanya setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak selalu dicela dan diancam dengan hukuman. Sebaliknya hukum positif tidaklah demikian. Menurut hukum positif ada perbuatan yang walaupun bertentangan dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak dianggap sebagai tindak pidana, kecuali apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat. Contohnya adalah perbuatan zina. Dalam HPI, zina, walaupun dilakukan dengan suka sama suka, oleh perjaka dengan gadis, dipandang sebagai tindak pidana. Sementara Hukum Positif tidak menganggap hubungan kelamin di luar pernikahan sebagai tindak pidana dan karenanya tidak mengancamnya dengan hukuman, kecuali apabila terjadi perkosaan terhadap salah satu pihak atau pelakunya adalah orang yang masih dalam ikatan perkawinan dengan orang lain. Contoh lain adalah meminum minuman keras. Dalam HPI, meminum khamr dipidana baik mabuk atau tidak, tapi dalam hukum positif, baru dianggap pidana jika dilakukan di jalan-jalan umum dan menimbulkan mabuk karena hal itu akan mengganggu banyak orang (Pasal 536 KUHP).
b)      Hukum Positif adalah produk manusia sehingga serba tidak lengkap dan tidak sempurna sebagaimana manusia yang serba terbatas. Oleh karenanya selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, sebaliknya HPI bersumber dari Allah.

2.          
Hukum lazimnya dilambangkan dengan sesosok perempuan yang mana perempuan tersebut membawa timbangan yang seimbang di tangan kanannya dan membawa sebilah pedang yang mengarah ke bawah di tangan kirinya dengan mata yang tertutupi sebuah kain yang melingkari/menutupi matanya.
Lambang tersebut dapat dijelaskan secara Part Of View (di artikan secara satu-persatu), yang mana mempunya 4 unsur, yakni:
1.      Sesosok Dewi/Perempuan
Perempuan melambangkan hati nurani yang luhur yang mana seorang yang ahli di bidang hukum harus mengadili sebuah perkara dengan hati yang luhur/tulus (Tidak menyelesaikan sebuah perkara dengan hati yang sedang emosi).
2.      Mata Tertutup Kain
Secara harafiah dalam keadaan nyata, jika mata kita kita tertutup kita tidak dapat melihat apapun itu. Begitu pula dengan hukum yang mana Part Of View-nya adalah mata tertutup yakni mengandung makna, jika kita mengadili sebuah perkara kita tidak boleh melihat siapa yang berbuat dalam perkara tersebut harus diselesaikan dengan adil dan harus mengingat bahwa semua orang di bangsa ini mempunyai hak sama yakni untuk menerima keadilan yang adil.

3.      Timbangan Seimbang
Pada sebelah kanan Dewi  ini membawa timbangan yang seimbang yang mengandung filosofi bahwa ketika menyelesaikan sebuah perkara kita harus adil tanpa harus menitik beratkan satu sama lain dengan menimbang perkara tersebut apakah sudah pantas untuk dijatuhkan kepada si tersangka.

4.      Pedang Yang Mengarah Kebawah
pada sebelah kiri dari Dewi ini membawa sebuah pedang yang mengarah kebawah, ini mengandung filosofi bahwa hukum itu bukanlah alat untuk membunuh ataupun menantang seseorang, namun disini berarti bahwa hukum itu adalah sebuah jalan terakhir dalam menyelesaikan sebuah perkara bukan menjadi jalan yang paling awal dalam menyelesaikan perkara tsb.

3.       Ayat mutasyabihat
lafaz Quru’ (قروء) dalam surat al-Baqarah (2):228:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’….
Lafal قروء pada ayat tersebut dalam pemakaian bahasa arab bisa berarti masa suci bisa pula berarti masa haidh. Untuk mengetahui maksudnya secara pasti diperlukan adanya qorinah yang akan menjelaskannya. Kelihatannya dalam hal ini ulama’ mengemukakan dalil atau qorinah yang berbeda, sehingga menghasilkan hukum yang berbeda.
1. Ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa quru’ itu artinya “Haid”. Untuk menguatkan pendapatnya, ia mengemukakan dalil dan qorinah sebagai berikut:
a. Firman Allah dalam surat at-Thalaq(65):4
واللائى يبسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعد تهن ثلاثة أشهر
Perempuan-perempuan yang telah putus haid diantara istrimu jika ia ragu tentang iddahnya, maka iddahnya adalah tiga bulan.
            Nash ayat ini menjelaskan bahwa dalam keadaan luar biasa, yaitu saat meragukan karena haidnya telah terputus, maka perhitungan iddahnya adalah tiga bulan. Hal itu berarti bahwa perhitungan tiga quru’ itu berlaku untuk perempuan yang masih haid. Dengan demikian perhitungan iddah itu adalah dengan haid, bukan dengan suci.

2. Imam Syafii berpendapat bahwa quru’ itu artinya adalah “suci”. Untuk menguatkan pendapatnya ia mengemukakan alas an sebagai berikut:
a. Firman Allah SWT, dalam surat at-Thalaq(65):1:
 إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعد تهم
Bila kamu ingin menceraikan istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka dalam waktu iddahnya.
Ayat diatas secara jelas menyatakan bahwa menalak istri itu adalah pada masa iddahnya dengan arti langsung masuk kedalam perhitungan iddah. Talak seperti ini termasuk dalam talak sunni. Talak yang masuk ke dalam masa iddah dalam talak sunni adalah bila dilakukan saat istri dalam keadaan yang belum dicampuri. Dengan demikian perhitungan iddah dengan tiga kali suci dan bukan tiga kali haid. Karena itu maka arti quru’ berarti suci.
b. Kata bilangan untk menunujukkan 3 quru’ dalam ayat tersebut menggunakan jenis kelamin betina (muaanas) yaitu ثلاثة . Dalam ketentuan kaidah bahasa Arab, bila bilangannya menggunakan jenis kelamin betina(muannas), maka yang dibilang(المعدود ) harus dalam bentuk jenis yang jantan(mudzakar). Berdasarkan ketentuan bahasa ini, maka quru’ itu harus bentuk mudzakar. Diantara kata” suci” dan “haid” itu dalam kaidah bahasa Arab, yang mudzakar adalah kata “ suci” , berarti tiga quru’ itu tiga kali suci
Sedangkan dalam hukum positif masa iddah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974, ketentuan iddah diatur dalam Pasal 39, yaitu:
a.                   Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut :
1.      Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
2.      Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
3.      Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
b.                  Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
c.                   Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
Antara hukum islam dan hukum positif memiliki kesamaan mengenai waktu menunggu atau masa iddahnya.




0 komentar:

Posting Komentar